Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melanjutkan kasus pinjaman online (pinjol) ke tahapan penyelidikan, setelah melalui proses penyelidikan awal sejak 5 Oktober 2023.
Dalam tahap penyelidikan ini, KPPU telah menetapkan 44 (empat puluh empat) penyelanggara peer-to-peer (P2P) lending sebagai Terlapor atas dugaan pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, khususnya pasal 5 terkait penetapan harga.
Pada tahap penyelidikan yang ditetapkan melalui Rapat Komisi tanggal 25 Oktober 2023 tersebut, KPPU akan memanggil para pihak termasuk Terlapor, saksi, atau ahli yang berkaitan guna mengumpulkan alat bukti yang cukup terkait dugaan pelanggaran.
Sebagai informasi, KPPU telah selesai melaksanakan penyelidikan awal atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha pinjol yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Dalam tahap tersebut, diketahui AFPI telah menerbitkan Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi secara Bertanggung Jawab yang mengatur penetapan jumlah total bunga, biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya (selain biaya keterlambatan) yang tidak melebihi suku bunga flat 0,8 % per hari, yang dihitung dari jumlah aktual pinjaman yang diterima oleh penerima pinjaman.
Pada tahun 2021, besaran tersebut diatur tidak melebihi 0,4% per hari. Setiap anggota AFPI wajib menandatangani suatu pakta integritas yang didalamnya mewajibkan anggota untuk tunduk pada pedoman yang dibuat asosiasi tersebut.
Dalam penyelidikan awal, KPPU telah melakukan berbagai kegiatan pengumpulan informasi, termasuk permintaan informasi secara tertulis kepada para anggota AFPI dan permintaan keterangan dari 5 (lima) penyelenggara P2P lending, AFPI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Melalui proses tersebut, KPPU telah memperoleh satu alat bukti dugaan pelanggaran pasal 5 dan memenuhi persyaratan untuk dilanjutkan ke tahap penyelidikan. KPPU juga menemukan bahwa tujuan pengaturan AFPI atas penetapan jumlah total bunga, biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya tersebut adalah untuk melindungi konsumen dari biaya predatory lending, atau praktik pemberian pinjaman yang mengenakan syarat ketentuan bunga dan/atau biaya-biaya yang tidak wajar bagi penerima pinjaman atau tidak memperhatikan kemampuan membayar kembali penerima pinjaman.
Proses penyelidikan akan berlangsung tertutup selama 60 (enam puluh) hari kedepan, dan tidak tertutup kemungkinan adanya perpanjangan masa penyelidikan ataupun penambahan Terlapor, bergantung pada alat bukti yang diperoleh.
Pada proses tersebut, KPPU akan membuktikan apakah perilaku beberapa penyelenggara P2P lending yang menerapkan suku bunga yang sama tersebut merupakan hasil kesepakatan diantara para penyelenggara. Pada prinsipnya di suatu pasar yang bersaing, setiap pelaku usaha P2P lending akan menjalankan usahanya secara lebih efisien, sehingga mampu menetapkan tarif suku bunga yang lebih rendah dari para pesaingnya serta memberikan berbagai pilihan fasilitas dan tarif suku bunga bagi konsumen.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), M. Afif Hasbullah dikukuhkan sebagai Profesor atau Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Hukum Universitas Darul ‘Ulum Lamongan kemarin (21/10) di Universitas Darul ‘Ulum (UNISDA) Lamongan, Jawa Timur. Pengukuhan tersebut dilakukan oleh Ketua Badan Pembina PP LPIS Darul Ulum Lamongan, Dra. Hj. Siti Djamilah. Dengan pengukuhan tersebut, Prof. Afif merupakan Profesor pertama yang dimiliki oleh UNISDA.
Dalam pidato pengukuhannya, Prof. Afif membawakan pidato bertemakan politik hukum pengawasan kemitraan dalam mewujudkan kesejahteraan umum, yang menekankan pentingnya kerangka hukum dan kebijakan yang diperlukan untuk penguatan dan pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UKM).
Ditegaskan bahwa kemitraan UKM dengan usaha besar yang sehat akan berkontribusi positif terhadap peningkatan dan stabilitas perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat. Namun masih banyak persoalan ditatanan implementasi kebijakan, seperti regulasi yang tumpang tindih dan tidak efektif.
Untuk itu, Prof. Afif menegaskan bahwa dibutuhkan perhatian khusus seluruh pemangku kepentingan atas hal tersebut. Karena pengawasan perjanjian kemitraan oleh KPPU sudah berjalan baik, namun masih dibebani banyak hambatan terutama status kelembagaan dan sumber daya yang jauh dari mencukupi dibanding luas wilayah dan cakupan pengawasan.
Sebagai informasi, Prof. Afif telah membina karir sebagai akademisi di UNISDA sejak tahun 2001 sampai dengan 2017 sebagai dosen pada Fakultas Hukum kampus tersebut. Tak lama, Prof. Afif yang merupakan lulusan terbaik pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, didapuk pada tahun yang sama sebagai Rektor UNISDA di usianya yang ke-24 tahun.
Ini menjadikan Prof. Afif sebagai Rektor termuda di Indonesia saat itu. Prof. Afif aktif menulis banyak jurnal ilmiah berakreditasi SCOPUS dan prosiding internasional maupun nasional, yang memberikan loncatan besar karir akademis beliau dari Lektor menjadi Guru Besar di usianya yang masih 46 tahun. Saat ini selain memimpin KPPU, beliau juga berperan sebagai Ketua Dewan Senat perguruan tinggi tersebut dan Pengasuh Pondok Pesantren (PP) Matholi’ul Anwar Lamongan.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengeluarkan Penetapan Penghentian Perkara Nomor 10/KPPU-K/2022 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 terkait Pelaksanaan Kemitraan antara PT Perkebunan Nusantara V dengan Koperasi Sawit Makmur di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau pada hari ini, 26 Juli 2023 di Kantor KPPU Pusat Jakarta. Penetapan tersebut dikeluarkan seiring dengan pelaksanaan perintah perbaikan oleh PT Perkebunan Nusantara V (PTPN V) atas kemitraannya dengan Koperasi Sawit Makmur (Kopsa-M), setelah memperoleh Surat Peringatan Tertulis I dan Peringatan Tertulis II dari KPPU. Kesimpulan tersebut dibuat KPPU setelah melewati masa pemantauan perbaikan yang dilakukan dalam jangka waktu pelaksanaan Perbaikan Peringatan Tertulis II.
Sebelumnya, KPPU menerima laporan publik mengenai adanya dugaan perilaku menguasai dalam pelaksanaan perjanjian kemitraan yang dilakukan oleh PTPN V sebagai inti, terkait pembangunan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit dengan mitra plasmanya, Kopsa-M. Berbagai perilaku PTPN V sebagaimana diatur dalam perjanjian kemitraannya, diduga melanggar Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008.
Setelah melalui proses Pemeriksaan Pendahuluan Kemitraan Tahap I dan Tahap II, KPPU mengeluarkan Peringatan Tertulis I dan Peringatan Tertulis II yang memerintahkan berbagai perbaikan kepada PTPN V dalam pelaksanaan hubungan kemitraannya dengan Kopsa-M. Atas perintah perbaikan tersebut, PTPN V melakukan sebagian perintah perbaikan kemitraan dalam jangka waktu 14 hari pelaksanaan Peringatan Tertulis I, sementara seluruh perintah perbaikan selesai dilaksanakan dalam jangka waktu 120 hari pelaksanaan Peringatan Tertulis II. Perbaikan kemitraan tersebut di antaranya berkaitan dengan:
1. Transparansi informasi mengenai biaya pembangunan dan pengelolaan lahan kebun Kopsa-M seluas 1.650 hektar, yang menimbulkan kewajiban hutang Kopsa-M kepada pihak bank dan hutang talangan kepada PTPN V.
2. Perbaikan pengelolaan kebun Kopsa-M dengan single management untuk: a. pemeliharaan kebun dan kegiatan pemanenan (persiapan panen dan cara panen); b. penyusunan rencana kerja kegiatan dan anggaran biaya pengelolaan kebun Kopsa-M; c. dilakukannya inventarisasi, analisis dan evaluasi lahan kebun plasma yang dapat dikelola PTPN V melalui koordinasi dengan Kopsa-M; dan d. pelaksanaan kegiatan pelatihan administrasi, manajemen dan teknis perkebunan kelapa sawit kepada Kopsa-M.
3. Perbaikan pengelolaan keuangan kebun Kopsa-M dalam bentuk penyampaian perhitungan data hutang total hutang Kopsa-M, hutang yang telah diangsur, daftar hutang, dan sisa hutang setiap periode, serta dibuatnya perencanaan jangka waktu pelunasan angsuran hutang talangan Kopsa-M kepada PTPN V berdasarkan hasil produksi kebun plasma secara optimal. 4. Disampaikannya dokumen-dokumen yang menunjukkan upaya yang dilakukan PTPN V terkait perpindahan lahan Kopsa-M ke pihak lain. 5. Upaya penyelesaian proses Sertipikat Hak Milik (SHM) Kopsa-M yang telah dilakukan PTPN V, berdasarkan luas lahan dalam pengelolaan PTPN V sesuai dengan data yang menjadi objek Perjanjian.
Berdasarkan pantauan, KPPU menyimpulkan bahwa PTPN V telah melakukan seluruh perintah perbaikan dalam Peringatan Tertulis I dan Peringatan Tertulis II. Dengan pelaksanaan peringatan tersebut, KPPU menghentikan proses penanganan perkara Kemitraan dan mengeluarkan Penetapan Komisi atas perkara dimaksud. Penyelesaian permasalahan kemitraan ini diyakini memberikan manfaat positif kepada 825 (delapan ratus dua puluh lima) anggota Koperasi Sawit Makmur tersebut. [sumber : kppu.go.id]
Indonesia resmi bergabung dalam keanggotaan Komite Persaingan di organisasi untuk kerja sama dan pengembangan ekonomi internasional atau dikenal dengan OECD. Keanggotaan tersebut disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penetapan Keanggotaan Indonesia pada Organisation for Economic Cooperation and Development Competition Committee (Keppres) yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 30 Mei 2023 lalu.
Dengan keanggotaan tersebut, Indonesia dapat mulai mengadopsi kebijakan persaingan usaha dan penegakan hukumnya mengikuti standar yang ditetapkan internasional. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) selaku pelaksana semakin dituntut perannya dalam mendorong kepatuhan pada standar internasional tersebut.
The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merupakan organisasi internasional di bidang ekonomi yang bertugas membentuk kebijakan bagi kehidupan masyarakat yang lebih baik. Mereka bertujuan untuk membuat kebijakan yang mengedepankan kemakmuran, kesetaraan, kesempatan, dan kesejahteraan bagi semua anggotanya. OECD saat ini beranggotakan 38 (tiga puluh delapan) negara. Di kawasan Asia, hanya Jepang, Korea Selatan, dan Turki yang merupakan anggota OECD. Indonesia hingga saat ini belum merupakan anggota OECD.
Keterlibatan Indonesia dalam Komite Persaingan OECD sebenarnya telah berlangsung lama, yakni sejak 15 Desember 2005, dengan KPPU bertindak sebagai observer atau pengamat dalam komite tersebut. Sejak Indonesia ditetapkan sebagai salah satu negara Key Partners (selain Brazil, Tiongkok, India, dan Afrika Selatan) oleh OECD pada tahun 2007, hubungan Indonesia dengan OECD semakin diperkuat melalui program kerja bersama (joint work programme) lima tahunan di berbagai bidang.
Saat ini tengah dilaksanakan program keempat untuk memandu kerja sama tersebut untuk tahun 2022 hingga 2025. Bidang kebijakan persaingan usaha berada dalam area kerja sama untuk iklim bisnis dan digitalisasi. Kerja sama tersebut meliputi pengembangan kapasitas tentang bagaimana kebijakan yang pro persaingan dapat memaksimalisasi manfaat dari ekonomi digital; asistensi koordinasi antara pemerintah dan otoritas persaingan dalam mengawasi dan menegakkan kebijakan dan hukum persaingan di pasar digital; pengembangan kapasitas dalam mendesain paket pemulihan ekonomi dan potensi hambatannya ke persaingan; dan peningkatan kesadaran pembuat kebijakan atas isu keberlangsungan dan persaingan.
Keberadaan Keppres ini memiliki makna penting bagi KPPU karena memberikan kesempatan untuk mendapatkan status keanggotaan tertinggi bagi otoritas yang bukan berasal dari negara anggota OECD, yakni rekan atau associate. Untuk itu, KPPU dituntut dalam mengawal agar implementasi kebijakan persaingan dan penegakan hukum di Indonesia mulai sejalan dengan Rekomendasi Dewan OECD (Recommendation of the Council).
Rekomendasi tersebut meliputi berbagai isu, antara lain atas transparansi dan keadilan prosedur dalam penegakan hukum, asesmen kebijakan, netralitas persaingan, pengentasan persekongkolan tender dalam pengadaan, analisa merjer, tindakan efektif melawan kartel, maupun kerja sama internasional dalam investigasi dan persidangan kasus persaingan.
Keanggotaan ini juga memberikan akses terbesar bagi KPPU dalam memanfaatkan aset data/informasi di OECD serta berbagai kajian dan kegiatan yang mendukung proses pengawasan persaingan usaha. Hal ini tentunya akan membuat penegakan hukum dan pelaksanaan kebijakan persaingan di Indonesia akan memiliki tujuan, praktik, serta standar yang tinggi dalam memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutus bahwa PT Aburahmi terbukti melanggar pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 dalam pelaksanaan kemitraannya dengan Koperasi Penukal Lestari.
Atas pelanggaran tersebut, KPPU menjatuhkan sanksi denda kepada PT Aburahmi sebesar Rp2.500.000.000, dan perintah untuk mengembalikan kekurangan lahan kepada Plasma serta melakukan addendum dalam perjanjian kemitraannya.
Putusan tersebut dibacakan dalam Sidang Majelis Pembacaan Putusan Perkara Nomor 02/KPPU-K/2020 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 terkait Pelaksanaan Kemitraan antara PT Aburahmi dan Koperasi Penukal Lestari, yang dilaksanakan hari ini berlokasi di Fakultas Hukum Universitas Riau.
Bertindak sebagai Ketua Majelis Komisi dalam perkara tersebut, Yudi Hidayat, S.E., M.Si., dengan didampingi oleh Anggota Majelis Komisi, Dr. M. Afif Hasbullah, S.H., M.Hum. dan Ukay Karyadi, S.E., M.E.
Perkara kemitraan ini berawal dari pengaduan publik terhadap PT Aburahmi (Terlapor) berkaitan dengan pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Kemitraan Pembangunan dan Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit antara PT Aburahmi (selaku Inti) dan Koperasi Penukal Lestari (selaku Plasma) yang berlokasi di Desa Air Itam Timur, Kecamatan Penukal, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatera Selatan.
Dalam perjanjian tersebut diduga terdapat unsur pelanggaran kemitraan oleh PT Aburahmi melalui pembuatan Addendum Perjanjian Kerja sama Kemitraan secara sepihak. Adendum sepihak tersebut mengakibatkan (i) Komposisi lahan berubah; (ii) seluruh biaya pembangunan dan pengelolaan perkebunan dibebankan kepada Petani Plasma; (iii) Hak Pengelolaan Perkebunan seluruhnya dialihkan kepada PT Aburahmi; dan (iv) bertambahnya syarat penjualan hasil panen secara sepihak. Pengaduan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan penegakan hukum oleh KPPU.
Melalui proses penegakan hukum, KPPU memberikan kesempatan perbaikan melalui 3 (tiga) Peringatan Tertulis kepada Terlapor. Setelah dua kali peringatan, Terlapor masih belum melakukan tindakan perbaikan. Baru pada Peringatan Tertulis III, Terlapor mulai menunjukkan perbaikan, tetapi belum melaksanakan seluruh perintah perbaikan yang diajukan KPPU. Tindakan Terlapor ini membuat KPPU melanjutkan persoalan tersebut ke tahapan Pemeriksaan Lanjutan Kemitraan dalam suatu Sidang Majelis Komisi.
Dalam Pemeriksaan oleh Majelis Komisi, diketahui bahwa Terlapor tidak memenuhi kewajiban untuk melakukan Addendum Perjanjian Kerja Sama Kemitraan yang tidak bertentangan dengan Perjanjian Kerja Sama Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit antara Masyarakat/Warga Desa Air Itam Timur dengan Direktur Utama PT. Aburahmi pada tanggal 12 Mei 2006, sebagaimana tercantum pada syarat dan ketentuan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) dalam SK Kepala BPN RI No. 152/HGU/BPN RI/2009 tertanggal 13 November 2009.
Dalam Perjanjian Kerja Sama tersebut terdapat ketentuan terkait komposisi lahan inti dan plasma, yaitu sebesar 50% – 50%. Namun pada fakta di lapangan menunjukkan lahan yang dimiliki Plasma hanya seluas 1.400 Ha, sementara lahan milik Inti mencapai 1.863,84 Ha dan telah bersertifikat HGU.
Berdasarkan fakta dalam persidangan, Majelis Komisi menyatakan bahwa Terlapor secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 35 ayat (1) UU 20 Tahun 2008 dalam pelaksanaan kemitraannya dengan Koperasi Penukal Lestari.
Atas pelanggaran tersebut, Majelis Komisi mengenakan sanksi berupa denda sebesar Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), serta memerintahkan Terlapor untuk memberikan kekurangan lahan kepada Plasma sesuai dengan Perjanjian Tahun 2006, yaitu sebesar 231,905 Ha (dua ratus tiga puluh satu koma sembilan ratus lima hektar) yang diambil dari lahan yang dikuasai Terlapor selambat-lambatnya 180 (seratus delapan puluh) hari kerja sejak Putusan berkekuatan hukum tetap.
Selain itu, Majelis Komisi juga memerintahkan Terlapor untuk melakukan Addendum Perjanjian Nomor 01/KAR-KPL/LEG-PERJ/VIII/16 tanggal 11 Agustus 2016 agar tidak bertentangan dengan perjanjian tahun 2006 sebagaimana surat peringatan tertulis III, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Putusan berkekuatan hukum tetap.
Sebagai negara yang meletakkan landasan dalam kerangka negara kesejahteraan, menuntut kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata dapat dirasakan oleh seluruh warga negara Indonesia. Tujuan tersebut tidak semata hanya sebagai jargon dalam kegagahan suatu wujud pemerintahan demokrasi, melainkan termaktub dalam Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Guna pencapaian hal tersebut, demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar.
Menjaga kondisi seperti yang tersebut di atas, maka setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional. Untuk itu dibutuhkan satu kelembagaan yang menggawangi atas terlaksananya persaingan usaha yang wajar, sehingga demokrasi ekonomi sesauai asas gotong royong dan demokrasi di Indonesia dapat tercapai. Kelembagaan tersebut sesuai amanat Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah Lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Dalam perkembangannya, masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) perlu diberdayakan sebagai bagian integral ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, peran, dan potensi strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang, berkembang, dan berkeadilan. Pemberdayaan UMKM sebagaimana dimaksud di atas perlu diselenggarakan secara menyeluruh, optimal, dan berkesinambungan melalui pengembangan iklim yang kondusif, pemberian kesempatan berusaha, dukungan, perlindungan, dan pengembangan usaha seluas-luasnya, sehingga mampu meningkatkan kedudukan, peran, dan potensi UMKM dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan peningkatan pendapatan rakyat, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan.
Oleh karena keberhasilan KPPU sebagai Lembaga penggawang Persaingan Usaha, berangkat dari pemikiran tersebut, KPPU diperluas pengawasannya selain pengawasan persaingan usaha juga sebagai pengawas dari kemitraan UMKM. Pemahaman masyarakat atas perluasan kewenangan KPPU selain sebagai pengawasan persaingan usaha, dan melalui UU UMKM KPPU juga sebagai pengawas pelaksanaan dari kemitraan UMKM dengan Perusahaan Besar. Terkait dengan hal tersebut, diperlukan pemahaman bagi mahasiswa sebagai salah satu calon pelaku dalam Usaha dan Perekonomian Masyarakat.
Pada tanggal 11 Oktober 2021, pukul 19:00 wib, Forum Dosen Persaingan Usaha (FDPU) mengadakan acara peringatan satu tahun berdirinya forum tersebut sebagai perkumpulan berbadan hukum. Acara difasilitasi oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Ikut hadir dalam acara itu Dekan FH USU Dr. Mahmul Siregar, S.H.,M.Hum yang memberikan sambutan selamat datang bagi para perserta. Sebelumnya, salah satu pendiri, yaitu Dr jur Udin Silalahi, S.H., LL.M., mewakili pendiri, membuka acara dengan menyampaikan sekilas riwayat berdirinya FDPU dan harapannya atas keberadaan forum ini.
Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI selaku Ketua FDPU kemudian menyampaikan paparannya tentang "Memahami Perma No. 3 Tahun 2021". Beliau memberi penekanan tentang posisi peraturan Mahkamah Agung dan bagaimana melihat peraturan tersebut ketika memiliki rumusan ketentuan yang berbeda dalam beberapa hal dengan peraturan pemerintah. Menurutnya, sangat terbuka kesempatan bagi para peserta di FDPU untuk melakukan penelitian mengenai problematika seputar Perma No. 3 Tahun 2021 tersebut.
Kemudian diadakan peluncuran situs fdpu.or.id/ sebagai website resmi forum tersebut. Acara kemudian ditutup dengan rapat tahunan yang didahului dengan laporan oleh Sekretaris FDPU Dr. Siti Anisah, S.H., M.Hum. (***)
Salah satu tugas KPPU, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 35 huruf e Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, adalah memberikan saran pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah agar selaras dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.
KPPU Award merupakan bentuk penghargaan KPPU kepada para regulator yang mendukung terwujudnya persaingan usaha yang sehat dan terciptanya kemitraan usaha yang adil. Artinya, penerima KPPU Award adalah mereka yang mengedepankan kebijakan yang mengutamakan persaingan sehat dan kemitraan yang ideal serta memberikan hasil positif bagi masyarakat luas dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Kegiatan ini untuk pertama kalinya berlangsung pada 2020.
Tantangan dalam kegiatan pemberian KPPU Award terletak pada penentuan kriteria, bobot dan pemeringkatannya. FGD ini bertujuanuntuk menggali parameter-parameter penilaian KPPU Award pada 4 kategori seperti pada tahun 2020, yaitu Persaingan Usaha tingkat Pusat, Kemitraan Usaha tingkat Pusat, Persaingan Usaha tingkat Daerah dan Kemitraan Usaha tingkat Daerah.
Pada Kamis 23 September 2021, Pukul 13.30 s.d 15.30 WIB, FDPU diwakili oleh Dr. Siti Anisah, berpartisipasi dalam Focus Group Discussion Kajian Pemeringkatan KPPU Award 2021, bersama DKP-KPPU dan Tenaga Ahli dari IPB University. Pada FGD ini dibahas tentang Analytical Hierarchy Process (AHP). Analytical Hierarchy Process (AHP) dikembangkan oleh Thomas L. Saaty dan merupakan metodologi sintesa pengambilan keputusan dengan menggabungkan penilaian (judgement) dan data untuk secara efektif memberi peringkat pada pilihan-pilihan yang diberikan dan memprediksi hasil keputusan.
Tujuan utama kebijakan persaingan adalah mempromosikan persaingan sebagai alat untuk membantu terciptanya pasar yang responsif terhadap sinyal konsumen, dan memastikan alokasi sumber daya yang efisien dalam ekonomi dan produksi yang efisien dengan insentif untuk berinovasi. Produsen dapat menghasilkan pilihan kualitas produk terbaik, harga terendah dan pasokan yang memadai bagi konsumen, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan konsumen (Brodley, J.F.; Knud Hansen, et.al., Bork, R.H.; & Elzinga, KG).
Kebijakan persaingan dalam suatu negara dapat dilakukan melalui pengendalian struktur dan perilaku pasar (market structure and conduct). Untuk menilai kebijakan persaingan, setidaknya ada dua pendekatan yang dapat dililih, yaitu: 1) Pendekatan ketat (non-discretionary approach): menentukan terlebih dahulu suatu ukuran baku tentang struktur pasar yang diperbolehkan, serta larangan-larangan untuk melakukan perbuatan di luar standar yang telah ditetapkan tersebut, seperti: penentuan besarnya pangsa pasar yang boleh dikuasai; larangan terhadap segala macam bentuk praktik monopoli; larangan terhadap praktik-praktik yang mengurangi atau menghilangkan persaingan usaha; 2) Pendekatan longgar (discretionary approach): meskipun sudah diberikan suatu patokan, namun segala sesuatunya dipertimbangkan secara fleksibel atau tidak kaku.
Untuk menganalisis apakah kebijakan persaingan berjalan baik, antara lain dapat digunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty (Wharton Business School, 1970). AHP merupakan metodologi sintesa pengambilan keputusan dengan menggabungkan penilaian (judgement) dan data untuk secara efektif memberi peringkat pada pilihan-pilihan yang diberikan dan memprediksi hasil keputusan.AHP memungkinkan untuk memasukkan hal-hal yang tidak berwujud (intangible) berupa penilaian manusia (human judgement) dalam proses pengambilan keputusan.
Tahapan dalam penyelesaian masalah dengan AHP, yaitu: 1) decomposition, yaitu memodelkan masalah ke dalam kerangka AHP berupa jaringan tujuan, kriteria 1, 2, 3, dst. Alternatif 1, 2, 3, dan seterusnya; 2) Penilaian komparasi (comparative judgement), membangun pembandingan berpasangan (pairwise comparison) untuk mendapatkan prioritas local antar elemen-elemen dalam hierarki yang disajikan dalam bentuk matriks; 3) Komposisi hierarkis atau sintesis (synthesis of priority), mengkombinasikan prioritas local elemen-elemen dalam hierarki dengan prioritas global dari elemen induk lalu menjumlahkannya untuk menghasilkan prioritas global, yaitu Geometric mean untuk menentukan consensus; Rater agreement merupakan suatu nilai yang menunjukkan tingkat kesepakatan responden (R1-Rn) atas permasalahan dalam satu (Ascarya, 2011)
Rencana penggabungan (merger) 2 perusahaan teknologi yaitu Gojek dan Tokopedia dipilih sebagai tema KPPU dalam rangka KPPU kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (FH Unsri) kembali mengadakan webinar, pada Selasa 27 April 2021, jam 9-11.
Isu merger ini pertama kali diberitakan dalam situs berita internasional yang berpusat di Amerika Serikat, Bloomberg. Sebelum itu, Gojek pernah diisukan akan melakukan merger dengan perusahaan pesaingnya yaitu Grab. Gojek merupakah perusahaan rintisan berbasis teknologi, yang saat ini disebut sebagai perusahaan decacorn dengan valuasi mencapai US$ 11Miliar, menyediakan jasa ride hailing, pengiriman barang, pengiriman makanan, bahkan kini merambah jasa keuangan. Sementara itu, Tokopedia, kegiatan usahanya adalah marketplace jual beli barang namun juga merambah ke jasa lain seperti jasa keuangan online, jasa cetak, hingga pembayaran pajak. Saat ini, Tokopedia disebut sebagai perusahaan unicorn dengan valuasinya diperkirakan US$ 8 sampai 10 Miliar.
Seminar dibuka dengan sambutan dari Ketua FDPU (Prof. Ningrum Natasya Sirait), dan Dekan FH Unsri (Dr. Febrian, S.H. M.S.) menghadirkan para pembicara dari Dr. Drs. Chandra Setiawan, M.M., Ph.D, dengan materi Peran Otoritas Persaingan Usaha dalam Merger dan Akuisisi yang Dilakukan Perusahaan; dan anggota senior FDPU yaitu Dr. Jur. Udin Silalahi, S.H., LL.M, (Dosen Fakultas Hukum UPH) dengan topik Merger dan Akuisisi Perusahaan Digital: Perspektif Hukum Persaingan Usaha; serta diakhiri oleh Prof. Joni Emirson (guru besar FHUnsri dan Pendiri FDPU).
Seminar ini menarik untuk dilakukan mengingat ada perbedaan pendapat atas rencana merger itu. Apa pendapat yang menyatakan, rencana merger Gojek dan Tokopedia tidak menimbulkan praktik monopoli karena berada pada bidang bisnis yang berbeda. Selain itu, tidak akan menciptakan integrasi vertikal atau monopoli karena keduanya memiliki ekosistem bisnis yang terbuka. Meskipun dua perusahaan ini tidak berada dalam satu pasar bersangkutan yang sama, atau dalam rantai distribusi yang sama, isu merger di antara Gojek dan Grab menimbulkan resiko terhadap iklim persaingan usaha. Menurut KPPU, risiko yang timbul dari merger ini adalah praktik penggabungan big data yang dapat digunakan untuk menguasai pasar. Ini merupakan konsekuensi logis dari transaksi penggabungan jika dilihat dari perspektif hukum perusahaan, termasuk penggabungan aktiva dan pasiva.
Bila merger antara Gojek dan Tokopedia benar terjadi, meskipun tidak memiliki bidang usaha yang berbeda, namun keduanya memiliki keterkaitan. Tokopedia memiliki core bisnis sebagai marketplace jual beli barang sementara Gojek memiliki jasa pengantaran barang jarak dekat melalui fitur Go-Send. Ini dapat menimbulkan hambatan masuk bagi pelaku usaha baru karena standar yang dibuat menjadi jauh melampaui kemampuan pelaku usaha baru itu.
Dalam melakukan merger, pelaku usaha seperti Gojek dan Tokopedia seharusnya mematuhi peraturan yang berlaku di Indonesia, antara lain Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, dan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang dapat Mengakibatkan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat. Dalam peraturan pemerintah itu, pelaku usaha memiliki kewajiban untuk memberitahukan kepada KPPU bila nilai asetnya melebihi Rp 2,5 Triliun dan/atau nilai penjualannya melebihi Rp 5 Triliun. Ketentuan serupa terdapat dalam Perkom No. 3 Tahun 2019 tentang Penilaian terhadap Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan Saham Perusahaan yang dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopolo dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ketika pelaku usaha tidak melaporkan kepada KPPU, maka pelaku usaha akan dikenakan sanksi yaitu sebesar Rp 1 Miliar untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan paling tinggi sebesar Rp 25 Miliar.
KPPU sebagai otoritas pengawas persaingan usaha melakukan penilaian terhadap transaksi merger antara Gojek dan Tokopedia. Melalui penilaian ini akan dilihat apakah merger itu benar terdapat potensi pelanggaran atau tidak mengingat keduanya memiliki sifat bisnis yang sangat terbuka atau multisided market. Melalui proses penilaian ini akan melihat mana saja pasar yang terdampak dari merger Gojek dan Tokopedia ini, termasuk potensi upaya koordinasi atau penyesuaian harga di kemudian hari. Bila melihat kecenderungan atau trend perusahaan digital saat ini, KPPU harus bijak dalam melihat isu ini sehingga iklim persaingan usaha dan perlindungan konsumen dapat terwujud.
Dr. Udin Silalahi menyampaikan bahwa tantangan Besar bagi KPPU untuk menilai Merger di Pasar Digital di Indonesia adalah terkait dengan: 1) fitur tertentu dari pasar digital menciptakan tantangan bagi kebijakan persaingan; 2) definisi pasar (pasar bersangkutan, baik produk maupun geografi, dan multi sided market); 3) struktur pasar; 4) dimulai dengan prevalensi efek jaringan,yaitu efek langsung dan tidak langsung; 5) gunakan data besar sebagai aset; 6) dominasi pasar; 7) kekuatan pasar; 8) theory of harms. Untuk itu seharusnya penilaian Awal yang dilakukan oleh KPPU meliputi: Konsentrasi Pasar; Pasar Produk-Geografis; ratio konsentrasi atau Concentration Ratio (CRn): CR3, CR4, CR5, CR6, dan seterusnya, Herfindah Hirsman Index (HHI), meliputi Spektrum I (HHI 250) – Spekktrum III (HHI >2500; perubahan delta >150). Selanjutnya KPPU melakukan penilaian menyeluruh, yaitu terkait dengan adakah hambatan masuk pasar; apa saja potensi perilaku antipersaingan; dan bagaimana efisiensi dan/atau kepailitan.
Komisioner KPPU, Dr. Chandra Setiawan mengingatkan banyaknya peraturan terkait dengan merger yang semestinya dipatuhi oleh para pelaku usaha; yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya Bagian Keempat (Penggabungan Peleburan, dan Pengambilalihan dalam Pasal 28 dan 29); Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengenaan Denda Keterlambatan Pemberitahuan Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan; Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2019 tentang Penilaian Terhadap Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; Pedoman Penilaian terhadap Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan (6 Oktober 2020); Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2020 tentang Relaksasi Penegakan Hukum Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta Pengawasan Pelaksanaan Kemitraan dalam Rangka Mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional (9 November 2020). Diingatkan pula Ketentuan Notifikasi Merger & Akuisisi Ke KPPU yang meliputi Memenuhi batasan Nilai (threshold); M & A bukan antara perusahaan terafiliasi; Adanya perubahan Pengendalian.
Forum Dosen Persaingan Usaha (FDPU) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh melaksanakan Webinar Nasional dengan tema “Arah Perubahan Pedoman Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999”, Kamis, (23/9/2021) secara online. Webinar Nasional ini dibuka oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Prof Jamaluddin dan Ketua FDPU, Prof Ningrum Natasya Sirait.
Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber yakni Kepala Biro Hukum Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Ima Damayanti MH, Ketua Diklat Indonesia Competition Lawyer Association (ICLA), Farid Fauzi Nasution LLM, serta Pakar Hukum Persaingan Usaha dari FDPU dan juga sebagai Dosen Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia, Dr Binoto Nadapdap. Sedangkan yang bertindak sebagai moderator adalah Sofyan Jafar dari Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh.
Dalam sambutannya, Prof Jamaluddin menyampaikan, wadah FDPU sangat penting untuk menjadi mitra dari KPPU dalam menciptakan iklim usaha yang sehat dan berkeadilan di Indonesia.
“Saya mengucapkan terimakasih atas kerja sama FDPU dengan FH Unimal hingga terselenggaranya webinar ini dan berharap agar kerja sama ini dapat berlanjut dan berkesinambungan,” harapnya.
Sementara ketua FDPU, Prof Ningrum Natasya Sirait menyebutkan , FDPU akan terus berupaya untuk menjalin kerja sama dengan seluruh perguruan tinggi di Indonesia dan menjadi mitra dari KPPU.
“Webinar Nasional ini yang ketiga kalinya kami lakukan, dan kali ini kami jalin kerja sama dengan Unimal, dan akan menjadi mitra untuk kedepannya,” tutupnya.
Kegiatan Webinar ini diikuti oleh dosen dan juga mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia serta praktisi hukum, khususnya yang menekuni bidang persaingan usaha. Kegiatan ini dilaksanakan secara daring melalui aplikasi Zoom meeting dengan jumlah yang mendaftar 227 peserta, dan juga luring khusus untuk peserta dari civitas akademika Universitas Malikussaleh dengan mengikuti protokol kesehatan.[tmi]
Journal article: INTRODUCTION TO A SOCIAL-FUNCTIONAL APPROACH IN THE INDONESIAN CONSUMER PROTECTION LAW Shidarta and Stefan Koos
This legal study, using a social-functional approach, underscores the importance of developing a viable social consumer protection system. Through it, the government should promote a more effective consumer protection system in which any obstacle hampering consumer’s ability to obtain information necessary to make rational choices can be prevented. In short, a system protecting the consumer’s right to obtain information. In this context, business enterprises are still expected to participate and support consumer protection movements at the national as well as regional level in which the end goal is to develop a fair business competition climate.
Kecerdasan buatan (artificial intelligence) diramalkan akan banyak mempengaruhi perilaku banyak orang, termasuk di dalamnya perilaku konsumen dan tentu saja, perilaku pelaku usaha. Di masa depan, persaingan usaha akan diwarnai penggunakan kecerdasan buatan.
Anggota kehormatan Forum Dosen Persaingan Usaha (FDPU) dari Universitas Bundeswehr University, Prof. Dr. Stefan Koos diundang untuk membicarakan topik ini. Dengan difasilitasi oleh FDPU, beliau tampil di BINUS TV untuk berbagai perspektif dengan kita semua.
Dalam rangka mendapatkan masukan dari para akademisi, peneliti, dan praktisi hukum dan ekonomi, pada tanggal 19 November 2019, Komisi VI DPR-RI mengundang sembilan ahli dari berbagai perguruan tinggi dalam acara dengar pendapat terkait penggantian UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Para narasumber yang diundang oleh Komisi VI DPR-RI adalah Dr. Shidarta (Ketua FDPU/dosen BINUS), Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait (USU), Faisal Basri (UI), Dr. Siti Anisa (UII), Dr. Udin Silalahi (UPH), Dr. Kurnia Toha (Ketua KPPU), Dr. M. Syarkawi Rauf (mantan Ketua KPPU), dan Dr. Sukarmi (mantan anggota KPPU). Selain itu ada dua advokat dari Kantor Hukum Hamzah & Assegaf. Semua narasumber diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan masing-masing.
Dalam paparannya, Shidarta yang hadir mewakili FDPU menyampaikan bahwa kritikan terhadap RUU yang ada sekarang ini sebenarnya sama dengan kritik terhadap UU No. 5 Tahun 1999 karena ternyata sebagian besar materi RUU ini tidak berbeda dengan UU sebelumnya. Memang ada penambahan pasal dalam RUU ini, sekitar 42 pasar, namun penambahan ini lebih terkait penambahan kewenangan untuk KPPU. Isu-isu seputar ekstrateritorialitas, leniensi, pra-notitifikasi, dan penambahan besaran denda administratif, juga mengemuka di dalam dengar pendapat ini. Shidarta sendiri tidak mengaksentuasi isu-isu yang sudah dibahas oleh narasumber sebelumnya, tetapi lebih mempersoalkan konsep-konsep dasar yang harus dibenahi. Sebagai contoh, ia mempersoalkan tentang nomenklatur judul UU, landasan filosofis UU ini, tujuan pengundangan, definisi praktik monopoli, pelaku usaha, konsumen, dan sebagainya.
Para narasumber secara umum menyarankan agar RUU yang memang sudah dipersiapkan sejak lama ini dapat dikaji lagi secara lebih hati-hati agar kekurangan yang sudah dialami selama 19 tahun perjalanan UU No. 5 Tahun 1999 tersebut dapat diatasi secara komprehensif. Para narasumber tidak keberatan dan sangat mendukung adanya penguatan kelembagaan KPPU, khususnya terkait capacity building dan masa depan para pegawai di lembaga independen ini. (***)
Pada tanggal 10 Oktober 2020, pukul 10:20 WIB, berlangsung penandatanganan minuta akta pendirian PERKUMPULAN Forum Dosen Persaingan Usaha (FDPU), bertempat di Kantor Notaris Fully Handayani Ridwan, S.H., M.Kn. (Sektor Catalina, Jalan Raya Danau Poso Blok AA No. 21, Gading Serpong, Tangerang). Hadir sebagai penghadap adalah Shidarta dan Eugenia Mardanugraha, mewakili diri mereka dan 13 orang para pendiri FDPU lainnya. Lima belas pendiri yang nama-namanya tercantum dalam akta adalah:
Acara bersejarah berupa penandatanganan badan hukum ini juga disaksikan oleh para pendiri melalui zoom.
Nama perkumpulan yang telah disetujui oleh Kemenkumham adalah Perkumpulan Forum Dosen Persaingan Usaha (disingkat FDPU). Di dalam akta pendirian ini, untuk pertama kali sekaligus diangkat Ketua FDPU Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li., kemudian sekretaris Dr. Siti Anisah, S.H., M.Hum., dan bendahara Dr. Eugenia Mardanugraha, S.Si., M.E.
Pada tanggal 2 Oktober 2019, FDPU bekerja sama dengan Jurusan Hukum Bisnis Universitas Bina Nusantara (BINUS) Jakarta, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Universitas Bundeswehr Munich (Jerman) dan Universitas Applied Sciences & Arts Dortmund (Jerman), mengadakan seminar sehari dengan topik: Personal Data Protection (EU & Indonesia) and Competition Perspective in Digital Economy.
Tampil sebagai pembicara dalam seminar di Kampus Alam Sutera BINUS ini adalah Prof. Dr. Stefan Koos (Bundeswehr-Munich), Prof. Dr. Michael Bohne (Applied Sciences & Arts-Dortmund), Dr. Bambang Pratama (BINUS), Kodrat Wibowo, Ph.D. (Komisioner KPPU), dan Dr. I Nyoman Ardhiana (Plt Direktur Digital Ekonomi Kominfo). Acara dibuka oleh Ketua FDPU Shidarta, Deputi Kajian dan Advokasi KPPU Taufik Ariyanto Arsyad, serta Ketua Jurusan Hukum Bisnis BINUS Dr. Ahmad Sofian. Seminar dibagi dalam dua sesi, masing-masing dipandu oleh Dr. Stijn Cornelis van Huis dari BINUS dan Alia Saputri dari KPPU. Peserta terdiri dari sejumlah akademisi (khususnya angota FDPU), praktisi, dan para mahasiswa.
Kerja sama dengan melibatkan dua universitas di Jerman memang baru pertama kali ini berlangsung. Kedua guru besar ini juga berkesempatan mengadakan seminar di Universitas Trisakti Jakarta. Sebelumnya Prof. Stefan Koos juga telah berkunjung ke Universitas Airlangga dan dalam waktu dekat akan ke Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
Pada sesi pertama, para pembicara menekankan segi-segi pengaturan data pribadi di Uni Eropa dan Indonesia. Selama ini ada pandangan bahwa Uni Eropa adalah model yang bisa dijadikan benchmark. Menurut Stefan Koos, hal ini tidak seluruhnya benar. Ia menyebutkan sejumlah prinsip yang menurutnya masih belum tuntas diatur dan masih diperbincangkan, misalnya tentang data yang dikreasikan melalui kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Terkait dengan persaingan usaha, diperkirakan bahwa isu-isu pemanfaatan (baca: manipulasi) data pribadi konsumen dan pelanggan akan makin marak dalam upaya memenangkan kompetisi bisnis. Kondisi ini perlu diberikan perhatian khusus di Indonesia, mengingat kepemilikan handphone (di dalamnya termasuk smartphone) sudah mencapai angka di atas 250 juta buah (aktif). Artinya, Indonesia sudah masuk dalam pengguna lima besar dunia. Hal ini tentu menarik perhatian pelaku usaha untuk memanfaatkan ceruk pasar yang sangat luas melalui bantuan teknologi komunikasi dan informasi. (***)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), pada awal Agustus 2019 lalu kembali menyelenggarakan Lokakarya Pengayaan Pengajaran Persaingan Usaha bagi Perguruan Tinggi dengan menghadirkan para akademisi di Jawa Timur. Hadir sebagai pembicara pada lokakarya ini adalah Deputi Kajian dan Advokasi KPPU Taufik Ariyanto (dari kiri), Anggota KPPU Afif Hasbullah, dan Akademisi Universitas Brawijaya Sukarmi serta dipandu oleh Staf Ahli Bidang Kelembagaan KPPU Barid Effendi.
Tujuan dari lokakarya ini adalah meningkatkan sinergitas antara KPPU dengan para akademisi di Jawa Timur. Bentuk akhir dari sinergi ini adalah terinternalisasinya nilai-nilai persaingan usaha di tingkat Perguruan Tinggi. Bahkan ke depannya, sinergi tersebut diharapkan dapat membantu Pemerintah untuk menyusun regulasi yang diharmonisasikan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
Saat membuka lokakarya, Afif menyampaikan “KPPU merupakan anak kandung reformasi yang eksistensinya harus mendapat support dari seluruh elemen masyarakat untuk melaksanakan tugas penegakan hukum dalam bidang persaingan usaha, advokasi kebijakan, notifikasi merger dan akuisisi serta pengawasan kemitraan sehingga perlu mendapat dukungan salah satunya dari Perguruan Tinggi yaitu melalui penelitian-penelitian”.
Terkait akademisi, Afif menyampaikan bahwa dosen dan para pengajar di Perguruan Tinggi memiliki peran yang sangat penting bagi keberhasilan program lokakarya ini. KPPU memandang kerja sama dengan akademisi sangat strategis dalam upaya internalisasi pengetahuan persaingan usaha yang sehat di Perguruan Tinggi, serta mendorong akademisi untuk aktif melakukan penelitian, pengkajian, dan pengajaran tentang isu-isu persaingan usaha. Selanjutnya melalui Lokakarya ini diharapkan Perguruan Tinggi mampu menjadi partner bagi KPPU dalam pengembangan hukum persaingan usaha.
Sumber berita: https://www.kppu.go.id/id/blog/2019/08/kppu-selenggarakan-lokakarya-persaingan-usaha/
Seminar nasional persaingan usaha dengan tema “Implikasi Pemberlakuan ASEAN Competition Action Plan (ACAP) 2016-2025 terhadap Persaingan Usaha di Indonesia”, kerja sama antara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Forum Dosen Persaingan Usaha (FDPU), telah dilangsungkan tanggal 18 Desember 2018. Seminar yang diikuti sekitar 150 peserta ini diadakan di Hotel Harris Vertu, Harmoni, Jakarta.
Acara dibuka oleh Ketua KPPU Kurnia Toha, S.H., LL.M., Ph.D. Beliau mengapresiasi kehadiran para dosen pada seminar ini, sekaligus menggarisbawahi dukungan KPPU untuk terus bekerja sama dengan FDPU dalam acara-acara seperti seminar ini. Beliau menginformasikan bahwa KPPU dalam beberapa tahun ke depan akan melakukan kajian-kajian pada berbagai area usaha, untuk mencari tahu mengapa daya saing pelaku usaha Indonesia tidak cukup kuat. Melalui kajian-kajian yang melibatkan para ahli dan akademisi, diharapkan KPPU dapat memberikan rekomendasi yang solutif dan mendalam. Hal yang sama diutarakan oleh Ketua FDPU Shidarta, yang menyatakan bahwa KPPU sangat perlu bersinergi dengan para dosen dalam menjalankan peran dan fungsinya tersebut dengan memberi pandangan-pandangan mereka yang kritis. KPPU, menurutnya, telah menjadi model institusi persaingan usaha di banyak negara ASEAN, sehingga kewenangannya harus terus diperkuat.
Ms. Yap Lai Peng (Assistant Director of Competition, Consumer Protection, and IPR Division, ASEAN Secretariat) memberi catatan tentang rintisan yang dilakukan Indonesia dengan KPPU-nya. Bersama dengan Thailand, Indonesia merupakan pelopor pemberlakuan undang-undang persaingan usaha pada tahun 1999. Saat ini hanya Kamboja yang belum memiliki pranata hukum persaingan usaha. Kendati demikian, ia menggarisbawahi perbedaan-perbedaan cukup prinsip dalam rejim pengaturan persaingan usaha di negara-negara anggota ASEAN. Uraian lebih rinci disampaikan oleh pembicara berikutnya dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Dr. Hesty D. Lestari, S.H., LL.M., MES. Beliau meragukan efektivitas kerjasama regional untuk menangani transaski bisnis lintas-negara serta upaya mengharmoniskan kebijakan dan hukum persaingan di ASEAN. Menurut Hesty D. Lestari, harmonisasi biasa dapat dicapai dengan cara: (1) pembentukan lembaga supranasional, dan (2) kerjasama antar-negara. Namun, pembentukan lembaga supranasional seperti di Uni Eropa, kemungkinannya sangat kecil. Untuk itu, cara yang paling memungkinkan adalah dengan mengandalkan kerjasama antar-negara. Idealnya, ia menyarankan agar rancangan perubahan UUD No. 5 Tahun 1999 dapat diarahkan ke satu tujuan, yaitu menuju ke pasar tunggal ASEAN. Langkah yang sama seharusnya disadari dan dilakukan juga oleh otoritas negara-negara lain anggota ASEAN.
Berly Martawardaya (Direktur Program INDEF) yang tampil sebagai pembicara ketiga menyinggung topik tentang peluang dan tantangan ACAP 2016-2025. Ia memberi perhatian pada perusahaan-perusahaan Indonesia karena tidak sanggup berkompetisi di area global. Sebagai contoh, dalam daftar Fortune 500, Indonesia hanya menyumbang dua perusahaan saja. Hal ini menunjukkan sebagian besar perusahaan-perusahaan kita masih fokus bermain di pasar domestik. Ia menyatakan, proteksi dari negara tidak dapat dibiarkan berlangsung terus-menerus, termasuk dalam konteks ini adalah mencari posisi yang tepat bagi badan-badan usaha milik negara (BUMN). Struktur pelaku usaha di Indonesia juga masih belum sehat karena yang besar hanya berkisar pada itu-itu saja, sedangkan di sisi lain ada sekian banyak UKM yang tidak kompetitif. Di level menengah justru tidak terisi, sehingga tidak terbentuk struktur piramida pelaku usaha di Indonesia.
Taufik Ahmad, S.T., M.M. (Plt Deputi Pencegahan KPPU) sebagai pembicara terakhir memaparkan peran KPPU dalam menghadapi implementasi ACAP. Selama ini KPPU memiliki kewenangan yang dibatasi oleh UU No. 5 Tahun 1999, yang ruang lingkupnya hanya sebatas wilayah Indonesia. Kendati, menurut Taufik Ahmad, ada juga contoh kasus Temasek yang melibatkan pelaku usaha mancanegara. Belum lagi instrumen seperti leniency program yang juga belum tertampung di dalam UU No. 5 Tahun 1999. Pada intinya, ia meyakini kompleksitas persaingan di Indonesia juga akan makin rumit, akibat keterbukaan pasar ASEAN itu. (***)
Forum Dosen Persaingan Usaha (FDPU) adalah sebuah forum independen para dosen bidang hukum dan ekonomi dari berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia, yang pada tanggal 27 Juli 2017 mengadakan seminar nasional bertema “Disruptive Innovation” bekerja sama dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Acara berlangsung di Grand Inna Malioboro, Yogyakarta.
Bagi FDPU seminar ini mengandung arti penting karena dilakukan di tengah menghangatnya wacana tentang serbuan layanan online terhadap dunia usaha di berbagai sektor, sehingga dipandang “mengganggu” kemapanan tata cara usaha konvensional. Serbuan ini dianggap mengganggu (disruptive), tetapi di sisi lain menawarkan kemudahan dan kemurahan yang menjadi ciri berbisnis dunia digital.
Jumlah pemakai Internet di Indonesia yang menurut E-Marketer (2017) sudah mencapai urutan keenam terbesar di dunia, sungguh menjadi daya tarik tersendiri bagi semua pelaku usaha yang telah “go-digital” tersebut. Perkiraannya, pada tahun 2018 nanti, pengguna Internet di Tanah Air akan mencapai angkat 123 juta.
Benar bahwa “disruptive innovation” ini merupakan fenomena global yang tidak mungkin dibendung begitu saja. Sekalipun demikian, sebagai sebuah negara berdaulat, tetap ada ruang bagi pengambil kebijakan publik untuk menyiasati serbuan ini agar kepentingan publik jangka panjang tetap diberikan prioritas. Kepentingan publik berjangka panjang ini setidaknya dapat dilihat dari dua sisi, namun berimplikasi secara multidimensional.
Pertama, sisi persaingan usaha. Sisi ini membahas hubungan B2B (business to business). Dari sisi ini, dunia usaha harus mengedepankan tercipta dan terpeliharanya iklim persaingan usaha yang sehat. Tidak boleh ada hambatan bagi pemain baru untuk masuk (no entry-barrier) di dalam dunia usaha Indonesia, yang pada gilirannya berakibat pada terkonsentrasinya penguasaan pasar oleh satu atau sekelompok pelaku usaha. Pasar tidak menjadi buyer’s market, tetapi seller’s market. Munculnya disruptive innovation tidak boleh dihadapi dengan sikap negatif, yaitu secara defensif melarangnya begitu saja, melainkan harus secara bijaksana justru perlu mengakomodasikannya agar pelaku usaha konvensional (incumbent business actors) dapat ikut memanfaatkan perkembangan ini seoptimal mungkin. Bagi pelaku usaha yang belum siap, maka tugas negaralah (baca: pemerintah) untuk menyiapkan mereka. Dalam rangka itulah diperlukan strategi negara dalam menghadapi disruptive innovation ini.
Kedua, sisi perlindungan konsumen. Sisi ini lebih menyoroti hubungan B2C (business to consumer). Disruptive innovation berangkat dari perspektif kebutuhan konkret konsumen. Jadi, dari kaca mata konsumen, inovasi ini tidak dianggap “mengganggu”. Konsumen justru merasa terbantu karena layanan menjadi lebih efisien dan efektif. Dukungan konsumen atas keberadaan usaha yang inovasi seperti itu tidak boleh membuat konsumen justru lengah, sehingga akhirnya terjadi akumulasi kerugian pada konsumen akibat praktik curang dalam dunia usaha, dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sebagai medianya. Oleh sebab itu, perlindungan konsumen harus menjadi titik perhatian. Tugas negara untuk melakukan edukasi konsumen secara terus-menerus karena inovasi di bidang ini tidak pernah mengenal kata berhenti.
Kedua sisi utama ini kemudian punya implikasi yang luar biasa di sektor ketenagakerjaan, perlindungan kekayaan intelektual, perpajakan, sampai pada masalah-masalah sosial.
FDPU yang terdiri dari dosen-dosen yang memiliki ekspertis, khususnya di bidang hukum dan ekonomi sangat berpotensi untuk dilibatkan dalam mengatasi “disruptive innovation” ini. Pemerintah melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu bergandengan tangan dengan komunitas para akademisi ini. Para dosen tersebut juga siap diajak untuk mencari strategi yang tepat untuk mengelola perkembangan ini dalam semangat persaingan usaha yang sehat dan pada gilirannya membantu penyusunan draf pengaturannya. Seminar kali ini merupakan langkah awal sejak forum dosen ini dideklarasikan pada tanggal 5 April 2017 di Kampus BINUS Alam Sutera. [fdpu | image : irc.sk.ca]
Uji Kelayakan atau Fit and Proper Test atas calon Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk periode masa jabatan 2023-2028 akan digelar Komisi VI DPR RI pada tanggal 14 – 15 November 2023.
Terdapat 18 (delapan belas) nama Calon Anggota KPPU yang diminta untuk memaparkan visi dan misinya pada tahap uji kelayakan tersebut. Berdasarkan ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1999, setidak-tidaknya DPR RI akan menyampaikan 9 (sembilan) nama kepada Presiden RI untuk ditetapkan melalui suatu Keputusan Presiden sebagai anggota KPPU periode mendatang.
Ketua KPPU, Prof. M. Afif Hasbullah menyambut baik proses tersebut dan berharap DPR RI dapat memilih Anggota KPPU yang bersedia memperjuangkan kepentingan kelembagaan KPPU. Selama lima tahun terakhir, KPPU telah banyak melakukan berbagai perubahan peraturan yang lebih adil dan transparan bagi publik, peningkatan upaya pencegahan pelanggaran undangundang, serta penguatan pengawasan kemitraan antara usaha mikro kecil dan menengah dengan usaha besar. Tetapi masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan di menjelang masa akhir kepemimpinan Anggota KPPU periode saat ini.
Beberapa permasalahan tersebut, antara lain penyelesaian agenda transformasi kelembagaan dan alih status kepegawaian sekretariat KPPU, peningkatan anggaran yang saat ini relatif rendah ditengah tugas yang sangat besar, pengusulan terwujudnya strategi nasional persaingan usaha, sinergi kebijakan antar K/L dalam rangka mitigasi atas kompleksitas pengawasan dan penegakan hukum menghadapi tantangan ekonomi digital, maupun belum terselesaikannya amandemen atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Diharapkan Anggota KPPU selanjutnya dapat memberikan perhatian pada berbagai pekerjaan rumah KPPU tersebut.
Prof. Afif juga menghimbau agar hal-hal baik yang dilaksanakan pada periode saat ini dapat diteruskan, sehingga kontinuitas program dan keberlanjutan kelembagaan dapat berjalan dengan baik.
KPPU juga mengajak peran serta publik, baik pelaku usaha, akademisi, pemerhati persaingan usaha maupun lainnya, untuk memberikan informasi atau masukan terkait harapan kepada calon komisioner mendatang dan juga rekam jejak para kandidat kepada Komisi VI selama masa fit and proper test saat ini.
UULPM dirancang untuk mengontrol atau mengawasi tindakan dari kelompok pelaku usaha atau pelaku ekonomi yang menguasai pasar tanpa perduli dengan pelaku usaha lainnya. Melakukan penyalahgunaan posisi dominan dengan menggunakan kekuatannya untuk berbagai macam kepentingan yang menguntungkan dirinya sendiri sebagai pelaku usaha. Dengan lahirnya UULPM maka ada hukum yang mengatur ketika terjadi persaingan usaha tidak sehat antara pelaku-pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha lainnya. UULPM dikeluarkan di saat Indonesia berada dalam keadaan krisis moneter. Jika dibandingkan dengan negara lain, undang-undang sejenis UULPM ini telah lama ada dan digunakan untuk membahagiakan masyarakatnya dengan kebebasan memilih barang dengan harga yang kompetitif. Di Amerika Serikat, keberadaan Undang-Undang tersebut sudah berumur lebih dari 100 tahun yang dikenal dengan nama Sherman Act. Di Kanada pada tahun 1889 Undang-Undang semacam itu sudah dikenal, di Jepang umurnya sekitar 40 tahun, di Jerman umurnya sekitar 60 tahun dan terdapat lembaga pengawas dengan nama Bundes Kartel Amm. Di Eropa sudah lama dikenal perjanjian di antara negara-negara Eropa untuk menyelesaikan perkara-perkara anti monopoli yang terjadi yang dilakukan secara cross border atau dilakukan secara lintas batas di berbagai negara Eropa. Di Indonesia baru hadir pada tahun 1999, namun tetap penulis menyampaikan suatu hal yang membahagiakan juga untuk kontrol pelaku usaha dengan pelaksanaan tugas dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU diangkat Presiden dan bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap pelaku usaha menerapkan UULPM agar tujuan tercapai seperti yang diatur pada Pasal 3 UULPM.
Mendalami UULPM adalah sangat simpel namun berat, cukup dengan membuat 3 (tiga) jenis larangan atau yang tidak diperbolehkan yaitu:
1. Perjanjian yang dilarang (Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UULPM)
2. Kegiatan yang dilarang (Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 UULPM) dan
3. Larangan Penyalahgunaan posisi dominan (Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 UULPM)
Penguasaan pasar diatur dalam Pasal 19 huruf a dan b UULPM, yang merupakan salah satu kegiatan yang dilarang dalam UULPM. Pasal 19 huruf a dan b UULPM mengatakan bahwa Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu.
Pelaku usaha yang melakukan Pasal 19 huruf a dan/atau b termasuk menjalankan kegiatan penguasaan pasar dan pasti dilarang dilakukan, karena merupakan kegiatan yang dilarang dengan menguasai pasar bersangkutan. Diharapkan semua pelaku usaha dapat masuk pada pasar bersangkutan dengan fair sehingga semua pelaku usaha sama melakukan kegiatan usaha untuk bersama membangun bangsa.
Sanksinya bagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 19 huruf a dan b UULPM dan pidana diatur pada Pasal 48 ayat (1) UULPM: Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana., denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
Setelah keluarnya UU 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UUCK) mengatur sanksi atas pelanggaran UULPM ini menyatakan bahwa besaran denda minimal Rp 1 miliar tanpa mencantumkan denda maksimal. Hal ini yang kurang relevan karena harus ada rate terndah sampai tertinggi. Misalnya terendah 1 miliar dan tertinggi 500 milliar, jangan membiarkan kosong rate tersebut.
Pasal 47 ayat 2 point c UUCK mengatakan perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli, menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat, dan/atau merugikan masyarakat sebagimana diatur dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26 dan Pasal 27 UULPM. Hal ini sesuai dan patut bahwa segala kegiatan merugikan masyarakat harus dicegah dan harus dihentikan apabila telah dilakukan.
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebut tentang Sanksi Administratif Persaingan Usaha Tidak Sehat diantaranya adalah:
Sanksi administratif yang dijatuhkan sesuai dengan tingkatan pelanggaran dan memperhitungkan dampak yang terjadi atas pelarrggaran yang dilakukan oleh pelaku Usaha;
Sanksi aidministratif yang dijatuhkan tidak menyebabkan berhentinya kegiatan usaha namun efektif untuk mencegah terjadinya pelanggaran serupa atau pelanggaran lainnya yang akan dilakukan oleh Pelaku Usaha. Dengan keberlangsungan usaha maka kegiatan ekonorni akan tetap dijalankan yang memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat melalui lapangan kerja, ketersediaan barang atau jasa, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
Sanksi administratif yang dijatuhkan harus disertai dengan alasan yang jelas yaitu pertimbangan yang rinci, konkret, dan berdasarkan data yang valid dan terukur.
Perkara yang diputus KPPU terkait Pasal 19 UULPM antara lain Putusan Perkara No. 29/KPPU-L/2020 tentang dugaan pelanggaran Pasal 19 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, Majelis Komisi memutuskan bahwa PT Pelabuhan Indonesia (Persero) tidak terbukti melakukan pelanggaran atas pasal tersebut. Perkara bermula dari laporan masyarakat yang melibatkan PT Pelabuhan Indonesia (Persero) (d/h PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero)) sebagai Terlapor. Dalam perkara tersebut, Terlapor diduga melakukan tindakan penguasaan pasar dalam jasa layanan bongkar muat barang di Pelabuhan Yos Sudarso Ambon pada periode tahun 2008 sampai dengan 2018 melalui pengalihan seluruh kegiatan bongkar muat barang di Dermaga Yos Sudarso kepada Perusahaan Bongkar Muat (PBM) yang ditentukan Terlapor. Tindakan tersebut dilakukan melalui berbagai surat pemberitahuan yang disampaikan Terlapor kepada beberapa perusahaan pelayaran yang tidak memiliki dasar dan kekuatan mengikat bagi pengguna jasa (https://kppu.go.id/siaran-pers/.) Transparansi Putusan perkara nomor 29/KPPU-L/2020, menyatakan bahwa tidak terbukti adanya pelanggaran atas Pasal 19 huruf a dan b UULPM yaitu Dugaan Pelanggaran Pasal 19 huruf a dan huruf b UULPM terkait Jasa Bongkar Muat Barang di Dermaga Yos Sudarso Pelabuhan Ambon, yang diputus oleh KPPU pada tangga 11 Januari 2022
Prof. Dr. Alum Simbolon, S.H., M.Hum., dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu Hukum pada hari Jumat, 4 Desember 2020, dan menjadi Guru Besar pertama yang dimiliki FH UPH Kampus Medan sekaligus juga Guru Besar pertama yang dimiliki UPH Kampus Medan.
FDPU berpartisipasi dalam Panel Diskusi 8th National and International Conference Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia “Philosophy of law in a digital civilization” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada Tanggal 11 Desember 2021.
Ketua FDPU Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLi, memaparkan paper berjudul: Dikotomi Ekonomi Persaingan vs. Ekonomi Pasar Pancasila (Penulis: Ningrum Sirait, Universitas Sumatera Utara, Siti Anisah, Universitas Islam Indonesia, dan Eugenia Mardanugraha, Universitas Indonesia).
Paper ini berisi pemaparan persoalan ekonomi global yang saat ini mengalami turbulensi ketika pandemi Covid-19 melanda dan hingga kini belum ada satu sistem ekonomi yang mampu menjawab perbaikan ekonomi dengan pasti.
Apakah coopetation sebagai wujud kerjasama bergabung dengan persaingan lebih tepat di tengah kegalauan global saat ini? Bagaimana bila Ekonomi-Pasar-Pancasila mengisi ruang kosong untuk menjawab kebutuhan itu?
Paper ini mengajukan tawaran konsep berupa: pertama, rekonseptualisasi ekonomi-persaingan dalam konteks pembahasan coopetation (Sila 1-3); kedua, revisi pemahaman saat ini tentang the nature of the competitive game (Sila 4); dan ketiga, kompetisi inovasi vertikal (Sila 5).