Kabar dari Seminar Implikasi ACAP 2016-2025

0
506

Seminar nasional persaingan usaha dengan tema “Implikasi Pemberlakuan ASEAN Competition Action Plan (ACAP) 2016-2025 terhadap Persaingan Usaha di Indonesia”, kerja sama antara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Forum Dosen Persaingan Usaha (FDPU), telah dilangsungkan tanggal 18 Desember 2018. Seminar yang diikuti sekitar 150 peserta ini diadakan di Hotel Harris Vertu, Harmoni, Jakarta.

Acara dibuka oleh Ketua KPPU Kurnia Toha, S.H., LL.M., Ph.D. Beliau mengapresiasi kehadiran para dosen pada seminar ini, sekaligus menggarisbawahi dukungan KPPU untuk terus bekerja sama dengan FDPU dalam acara-acara seperti seminar ini. Beliau menginformasikan bahwa KPPU dalam beberapa tahun ke depan akan melakukan kajian-kajian pada berbagai area usaha, untuk mencari tahu mengapa daya saing pelaku usaha Indonesia tidak cukup kuat.  Melalui kajian-kajian yang melibatkan para ahli dan akademisi, diharapkan KPPU dapat memberikan rekomendasi yang solutif dan mendalam.  Hal yang sama diutarakan oleh Ketua FDPU Shidarta, yang menyatakan bahwa KPPU sangat perlu bersinergi dengan para dosen dalam menjalankan peran dan fungsinya tersebut dengan memberi pandangan-pandangan mereka yang kritis. KPPU, menurutnya, telah menjadi model institusi persaingan usaha di banyak negara ASEAN, sehingga kewenangannya harus terus diperkuat.


Ms. Yap Lai Peng (Assistant Director of Competition, Consumer Protection, and IPR Division, ASEAN Secretariat) memberi catatan tentang rintisan yang dilakukan Indonesia dengan KPPU-nya. Bersama dengan Thailand, Indonesia merupakan pelopor pemberlakuan undang-undang persaingan usaha pada tahun 1999. Saat ini hanya Kamboja yang belum memiliki pranata hukum persaingan usaha. Kendati demikian, ia menggarisbawahi perbedaan-perbedaan cukup prinsip dalam rejim pengaturan persaingan usaha di negara-negara anggota ASEAN. Uraian lebih rinci disampaikan oleh pembicara berikutnya dari  Universitas Muhammadiyah Jakarta Dr. Hesty D. Lestari, S.H., LL.M., MES. Beliau meragukan efektivitas kerjasama regional untuk menangani transaski bisnis lintas-negara serta upaya mengharmoniskan kebijakan dan hukum persaingan di ASEAN. Menurut Hesty D. Lestari, harmonisasi biasa dapat dicapai dengan cara: (1) pembentukan lembaga supranasional, dan (2) kerjasama antar-negara. Namun, pembentukan lembaga supranasional seperti di Uni Eropa, kemungkinannya sangat kecil. Untuk itu, cara yang paling memungkinkan adalah dengan mengandalkan kerjasama antar-negara.  Idealnya, ia menyarankan agar rancangan perubahan UUD No. 5 Tahun 1999 dapat diarahkan ke satu tujuan, yaitu menuju ke pasar tunggal ASEAN. Langkah yang sama seharusnya disadari dan dilakukan juga oleh otoritas negara-negara lain anggota ASEAN.

Berly Martawardaya (Direktur Program INDEF) yang tampil sebagai pembicara ketiga  menyinggung topik tentang peluang dan tantangan ACAP 2016-2025. Ia memberi perhatian pada perusahaan-perusahaan Indonesia karena tidak sanggup berkompetisi di area global. Sebagai contoh, dalam daftar Fortune 500, Indonesia hanya menyumbang dua perusahaan saja. Hal ini menunjukkan sebagian besar perusahaan-perusahaan kita masih fokus bermain di pasar domestik. Ia menyatakan, proteksi dari negara tidak dapat dibiarkan berlangsung terus-menerus, termasuk dalam konteks ini adalah mencari posisi yang tepat bagi badan-badan usaha milik negara (BUMN). Struktur pelaku usaha di Indonesia juga masih belum sehat karena yang besar hanya berkisar pada itu-itu saja, sedangkan di sisi lain ada sekian banyak UKM yang tidak kompetitif. Di level menengah justru tidak terisi, sehingga tidak terbentuk struktur piramida pelaku usaha di Indonesia.


Taufik Ahmad, S.T., M.M. (Plt Deputi Pencegahan KPPU) sebagai pembicara terakhir memaparkan peran KPPU dalam menghadapi implementasi ACAP. Selama ini KPPU memiliki kewenangan yang dibatasi oleh UU No. 5 Tahun 1999, yang ruang lingkupnya hanya sebatas wilayah Indonesia. Kendati, menurut Taufik Ahmad, ada juga contoh kasus Temasek yang melibatkan pelaku usaha mancanegara. Belum lagi instrumen seperti leniency program yang juga belum tertampung di dalam UU No. 5 Tahun 1999. Pada intinya, ia meyakini kompleksitas persaingan di Indonesia juga akan makin rumit, akibat keterbukaan pasar ASEAN itu.  (***)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here