Home Blog Page 5

Disruptive Innovation dan Dampaknya terhadap Persaingan Usaha

0

Oleh : Udin Silalahi


Di era globalisasi sekarang ini persaingan diantara para pelaku usaha di pasar yang bersangkutan sangat ketat. Para pelaku usaha tetap berjuang untuk dapat bersaing dengan pelaku usaha pesaingnya di pasar bersangkutan. Persaingan mendorong para pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas produksinya atau pelayanan jasanya dan menjual produknya atau jasanya dengan harga yang kompetitif. Untuk itu pelaku usaha berusaha untuk melakukan efisiensi dan inovasi-inovasi.
Inovasi-inovasi yang marak akhir-akhir ini adalah melalui apa yang disebut dengan digital economy. Ekonomi digital adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan pasar yang berfokus pada teknologi digital. Ini biasanya melibatkan perdagangan barang atau jasa informasi melalui perdagangan elektronik.

Untuk memahami gagasan ekonomi digital, penting untuk memahami arti ‘disruptive innovation’. Disruptive innovation dipelopori oleh Clayton M. Christensen dalam artikelnya yang di muat dalam jurnal Harvard Business Review pada tahun 1995. Menurut Clayton M Christensen ‘disruptive innovation’ mengacu pada: “Sebuah proses di mana produk atau layanan berakar pada awalnya dalam aplikasi sederhana di bagian bawah pasar dan kemudian tanpa berhenti bergerak ke pasar, akhirnya menggusur pesaing yang sudah mapan.”

Lebih lanjut Christensen menjelaskan bahwa penyebaran disruptive innovation melalui dua tahap: (i) pada tahap pertama, inovasi melakukan kinerja buruk sepanjang beberapa dimensi yang penting bagi pelanggan tradisional dan dengan harga yang lebih rendah, sehingga ditargetkan – dan digunakan – oleh pelanggan baru di pasar baru; (ii) dalam tahap kedua ketika disruptive innovation dibentuk, di pasar yang baru, ia berkembang dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan pelanggan utama dan menurunkan perusahaan-perusahaan terkemuka di pasar mainstream.

Dengan adanya disruptive innovation ini mengalahkan perusahaan besar bersaing dipasar yang bersangkutan. Contohnya dengan hadirnya Uber, GrabCar, dan Gocar mengubah konstelasi persaingan dibidang taxi. Taksi online menggunakan sistem aplikasi untuk dipesan para calon penumpang, yang penting calon penumpang mempunyai android dan aplikasinya serta jaringan internet. Jika seseorang ingin pergi ke suatu tujuan tertentu, begitu ia mengordernya dan tidak lama kemudian taksi online tersebut akan meluncur menjemput si calon penumpang dimana ia berada. Karena taksi online yang terdekat dengan si pemesan akan menerima orderan tersebut, sehingga taksi online akan tiba dengan cepat ditempat dimana si pengorder berada. Ternyata dengan hadirnya taksi online mengurangi market share taksi konvensional.

Persaingan antara taksi online dengan taksi konvensional tidak terelakkan lagi, walaupun dari segi bisnis pola kerjanya berbeda. Berbeda karena perusahaan penyedia aplikasi tidak menyediakan mobil. Pada umumnya mobil adalah milik pengemudi sendiri dan hubungan antara pengemudi dengan perusahaan aplikasi adalah hubungan kerjasama yang dilakukan melalui koperasi dimana pengemudi bergabung. Definisi pasar bersangkutan dari perspektif hukum persaingan usaha juga menjadi isu.

Hal ini menjadi tantangan bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk melakukan penilaian atas persaingan diantara keduanya, karena seperti disebutkan oleh Christensen bahwa usaha disruptive innovation lebih murah, lebih gampang diperoleh dan menggunakan suatu model usaha dengan keunggulan biaya struktural (structural cost advantages). Pertanyaannya adalah bagaimana lembaga persaingan usaha menilai dampak disruptive innovation terhadap persaingan usaha dan bagaimanaa penerapan hukum persaingan usaha terhadap pelaku usaha yang menggunakan disruptive innovation, yang dalam kenyataannya dapat mengalihkan minat pembeli dari pelaku usaha incumbent kepada pelaku usaha dengan disruptive innovation?

Oleh karena itu, sebelumnya, perlu dijawab apa sebenarnya tujuan hukum persaingan usaha? Secara umum disepakati bahwa tujuan persaingan usaha adalah untuk melindungi persaingan usaha itu sendiri bukan melindungi para pelaku usaha an sich dan untuk mensejahterahkan konsumen. Sedangkan tujuan UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999) adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (konsumen), mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, dan terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Dalam menegakkan UU No. 5/1999 dasar pertimbangannya adalah untuk mencapai tujuan UU No. 5/1999 tersebut. Oleh karena itu, disruptive innovation dalam konteks online taksi, karena pola bisnisnya belum diatur dalam Undang-undang Lalulintas, maka diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 32/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek yang diperbahahrui menjadi Permenhub No. 26/2017 untuk mengakui legalitas taksi online di Indonesia.
Jadi ketika muncul terutama menyangkut hubungan antara inovasi dan kebijakan persaingan, pemahaman bersama adalah bahwa KPPU harus melindungi proses inovasi dengan membiarkan pasar terbuka bagi para inovator potensial. Oleh karena itu, menentukan pasar yang bersangkutan atau mengklarifikasi struktur pasar sangat penting untuk menentukan apakah tindakan yang diambil oleh pelaku usaha di pasar bersangkutan bersifat antikompetitif atau tidak.

Definisi pasar sangat relevan dalam konteks disruptive innovation, karena salah satu karakteristik khas gangguan tersebut adalah kemampuannya untuk “mengganggu” pasar yang ada dan menghancurkan perusahaan incumbent. Apakah taksi online dengan taksi konvensional berada pada pasar bersangkutan yang sama? Dari sisi pasar demand secara sederhana dapat dijawab ya, tetapi dari sisi pasar sebaliknya (penawaran) perlu dikaji lebih dalam lagi, karena inovasi yang dilahirkan oleh taksi online adalah justru pada sistem aplikasi yang diciptakan yang mempermudah calon penumpang untuk mengordernya.

Kemudian hubungan antara pengemudi taksi online dengan penyedia aplikasi harus dipertegas apakah hubungan kerja atau kerjasama, karena menurut Permenhub No. 26/2017 penyedia aplikasi yang mengadakan kerjasama dengan perusahaan transportasi publik, yaitu berupa koperasi. Dengan demikian untuk menganalisis market powernya dan posisi dominannya harus dijelaskan hal-hal tersebut guna menghitung biaya produksinya sehingga dapat menilai apakah harga yang ditawarkan oleh taksi online masih wajar atau tidak.

Jadi disruptive innovation mempunyai dampak besar terhadap persaingan pada pasar yang bersangkutan, yaitu terhadap konsumen, konsumen dapat disejahterahkan, dan terhadap persaingan, maka pelaku usaha konvensional harus berbenah untuk dapat bersaing. Langkah awal yang harus dilakukan oleh KPPU dalam menganalisis apakah perilaku taksi online melakukan anti persaingan atau tidak pada pasar yang bersangkutan, KPPU secara khusus menetapkan definisi pasar bersangkutan terlebih dahulu. Bahkan ketika pasar diubah atau diciptakan oleh inovator yang mengganggu, otoritas persaingan (KPPU) dihadapkan pada kebutuhan untuk segmentasi pasar yang ada atau menentukan pasar yang baru. Penentuan pasar bersangkutan sangat penting untuk menganalisis apakah taksi online melakukan anti persaingan dan apakah mempunyai market power dan posisi dominan yang dapat disalahgunakannya. (***)

Penulis adalah dosen tetap dan pengajar Hukum Persaingan Usaha FH UPH Karawaci. Tulisan ini atas izin penulis dimuat di rubrik ini. Sebelumya, tulisan tersebut telah dimuat di Investordaily, tanggal 8 Agustus 2017.

image source: veem

Press Release FDPU Terkait “Disruptive Innovation”

0

Forum Dosen Persaingan Usaha (FDPU) adalah sebuah forum independen para dosen bidang hukum dan ekonomi dari berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia, yang pada tanggal 27 Juli 2017 mengadakan seminar nasional bertema “Disruptive Innovation” bekerja sama dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Acara berlangsung di Grand Inna Malioboro, Yogyakarta.

Bagi FDPU seminar ini mengandung arti penting karena dilakukan di tengah menghangatnya wacana tentang serbuan layanan online terhadap dunia usaha di berbagai sektor, sehingga dipandang “mengganggu” kemapanan tata cara usaha konvensional. Serbuan ini dianggap mengganggu (disruptive), tetapi di sisi lain menawarkan kemudahan dan kemurahan yang menjadi ciri berbisnis dunia digital.

Jumlah pemakai Internet di Indonesia yang menurut E-Marketer (2017) sudah mencapai urutan keenam terbesar di dunia, sungguh menjadi daya tarik tersendiri bagi semua pelaku usaha yang telah “go-digital” tersebut. Perkiraannya, pada tahun 2018 nanti, pengguna Internet di Tanah Air akan mencapai angkat 123 juta.

Benar bahwa “disruptive innovation” ini merupakan fenomena global yang tidak mungkin dibendung begitu saja. Sekalipun demikian, sebagai sebuah negara berdaulat, tetap ada ruang bagi pengambil kebijakan publik untuk menyiasati serbuan ini agar kepentingan publik jangka panjang tetap diberikan prioritas. Kepentingan publik berjangka panjang ini setidaknya dapat dilihat dari dua sisi, namun berimplikasi secara multidimensional.

Pertama, sisi persaingan usaha. Sisi ini membahas hubungan B2B (business to business). Dari sisi ini, dunia usaha harus mengedepankan tercipta dan terpeliharanya iklim persaingan usaha yang sehat. Tidak boleh ada hambatan bagi pemain baru untuk masuk (no entry-barrier) di dalam dunia usaha Indonesia, yang pada gilirannya berakibat pada terkonsentrasinya penguasaan pasar oleh satu atau sekelompok pelaku usaha. Pasar tidak menjadi buyer’s market, tetapi seller’s market. Munculnya disruptive innovation tidak boleh dihadapi dengan sikap negatif, yaitu secara defensif melarangnya begitu saja, melainkan harus secara bijaksana justru perlu mengakomodasikannya agar pelaku usaha konvensional (incumbent business actors) dapat ikut memanfaatkan perkembangan ini seoptimal mungkin. Bagi pelaku usaha yang belum siap, maka tugas negaralah (baca: pemerintah) untuk menyiapkan mereka. Dalam rangka itulah diperlukan strategi negara dalam menghadapi disruptive innovation ini.

Kedua, sisi perlindungan konsumen. Sisi ini lebih menyoroti hubungan B2C (business to consumer). Disruptive innovation berangkat dari perspektif kebutuhan konkret konsumen. Jadi, dari kaca mata konsumen, inovasi ini tidak dianggap “mengganggu”. Konsumen justru merasa terbantu karena layanan menjadi lebih efisien dan efektif. Dukungan konsumen atas keberadaan usaha yang inovasi seperti itu tidak boleh membuat konsumen justru lengah, sehingga akhirnya terjadi akumulasi kerugian pada konsumen akibat praktik curang dalam dunia usaha, dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sebagai medianya. Oleh sebab itu, perlindungan konsumen harus menjadi titik perhatian. Tugas negara untuk melakukan edukasi konsumen secara terus-menerus karena inovasi di bidang ini tidak pernah mengenal kata berhenti.

Kedua sisi utama ini kemudian punya implikasi yang luar biasa di sektor ketenagakerjaan, perlindungan kekayaan intelektual, perpajakan, sampai pada masalah-masalah sosial.

FDPU yang terdiri dari dosen-dosen yang memiliki ekspertis, khususnya di bidang hukum dan ekonomi sangat berpotensi untuk dilibatkan dalam mengatasi “disruptive innovation” ini. Pemerintah melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu bergandengan tangan dengan komunitas para akademisi ini. Para dosen tersebut juga siap diajak untuk mencari strategi yang tepat untuk mengelola perkembangan ini dalam semangat persaingan usaha yang sehat dan pada gilirannya membantu penyusunan draf pengaturannya. Seminar kali ini merupakan langkah awal sejak forum dosen ini dideklarasikan pada tanggal 5 April 2017 di Kampus BINUS Alam Sutera. [fdpu | image : irc.sk.ca]

Pandangan Umum FDPU tentang “Disruptive Innovation”

0

Disampaikan sebagai Hasil Seminar “disruptive innovation” (Hotel Grand Inna Malioboro, Yogyakarta, 27 Juli 2017)

“Disruptive Innovation” adalah fenomena global dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir berkat penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Inovasi ini telah mengubah banyak perspektif dalam berbisnis, yang intinya memberi pilihan yang lebih menguntungkan konsumen. Oleh sebab itu, inovasi seperti ini tidak mungkin dan memang tidak selayaknya dihambat, mengingat pasar yang inovatif (innovative market) merupakan salah satu syarat bagi pertumbuhan ekonomi.

Jikalau ada pandangan bahwa inovasi ini membawa dampak “disruptive” terhadap pelaku usaha yang sudah mapan, maka dampak inilah yang harus dikelola dengan baik oleh negara. Ketidakmampuan dalam pengelolaan hanya akan merusak struktur pasar, membuahkan instabilitas ekonomi, dan sosial. Pola pengelolaan pun tidak boleh sekadar diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, melainkan harus mencermati dasar-dasar filosofis dan konstitusional negara, dengan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial sebagai tujuan akhirnya.

Negara (c.q. Pemerintah) sangat perlu menentukan apa sesungguhnya kebijakan dasar (basic policy) kita di dalam menghadapi fenomena “disruptive innovation” ini, yang pada gilirannya akan mewarnai regulasi kita di sektor-sektor terkait. Sementara itu, pada masa transisi ini pula, harus sudah diambil langkah-langkah konkret yang lebih fleksibel untuk menyikapinya fenomena yang terus meluas tersebut. Langkah-langkah tadi wajib mencerminkan adanya keseimbangan antara kompetisi dan inovasi. Intinya adalah: persaingan usaha yang sehat mutlak dijaga, sementara di sisi lain kreativitas juga layak dihargai (antara lain berdampak pada perlindungan kekayaan interlektual).

Dalam menetapkan kebijakan dan langkah-langkah konkret ini, Pemerintah diminta untuk mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh kebutuhan di tingkat daerah, yang sangat mungkin tidak selalu seragam dengan dampaknya yang akan sangat kompleks dan multidimensional. Di sinilah diperlukan kajian akademis dan ruang dialog yang konstruktif di antara para pemangku kepentingan, dan untuk itu, para akademisi yang meminati kajian persaingan usaha membuka diri untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas demikian.

Ada kemungkinan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil untuk bidang-bidang tertentu dan/atau pada daerah-daerah tertentu, memberi kesan kuat sebagai transitional policies . Di sinilah suatu kebijakan dasar yang bersifat komprehensif (berangkat dari kajian akademis yang multidisipliner) tadi perlu dihadirkan terlebih dulu untuk memayungi dan merajut kebijakan-kebijakan sektoral dan transisional tersebut. Dengan demikan, diharapkan bahwa setiap kebijakan yang diambil akan menunjukkan komitmen negara guna: (a) menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat, dengan menutup adanya hambatan bagi pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam pasar bersangkutan (entry barrier) dan/atau penyalahgunaan posisi dominan; dan (b) memberikan perlindungan hak-hak konsumen secara optimal (mencakup antara lain hak-hak dasar seperti hak atas keamanan/keselamatan, hak atas informasi yang benar, hak untuk memilih, dan hak untuk didengar). (***) / image : corporatefinanceinstitute

East Asia Academic Network on Competition Policy and Law (EANCP)

0

Background

Competition agencies or regulators cannot stand alone to ride the wave of changes. It needs its relevant stakeholders to jointly assist them along the way, and that included the world of academics. However, the problem is, there has been a slow growth of expertise in competition policy and law in East Asia. For the past decade, there has been no forum for the academic to get together and discuss their recent works or studies in competition policy and law. It makes the development in the number of a new ​expert ​in ​competition ​law ​in ​the ​region ​is​also ​moving ​at ​a ​slow ​pace.


The world of education plays a significant part in economic development. First, by conducting policy analysis and sectoral research to provide reliable input to policymakers. Second, by creating a better generation through human development. Such application also works in the area of competition policy and law, whereas the world of academia is an the engine of changes for supporting the development of competition policy and a law study of a nation or a region. The world of the future is a very rapidly changing world, in order to take advantage of the dynamics wave of changes, it requires a fast perceptual ability to all changes, so that it did not drift in the flow of change. That is why the study of competition policy and the law shall able to catch up with such robust​development.

In response to the problems, the 13th East Asia Top Level Meeting on Competition Policy and Law (EATOP/EAC) which had been held in Bali in September 2017 took the initiative to encourage the establishment of Academic Network in the field of Competition Policy and Law. It is hoped that The East Asia Academic Network on Competition Policy and Law (EANCP) will play the role of collaborating advance research and broadening network among themselves and with the regulator with the main the objective of improving or developing knowledge hub and expertise in competition policy and law in East Asia. It is hoped that the network of would also serve the needs of theoretical and practical convergence to address ​competition ​problems ​in ​the ​region.


Objectives
The network will aim at improving the number of study or research in competition policy and law, as well as join hand with the competition agencies or regulators to build expertise in the competition area of both competition agency and university. In specific, the ​Academic​Network ​on ​Competition ​Policy and Law ​in ​East ​Asia ​will ​serve​as: ● Communication forum for academics in competition law and policy in regional scope; ● A forum for joint academic activities on competition issues (research, study, seminar, ​FGD, ​workshop,​discussion, ​training, ​etc); ● Experience ​sharing ​and ​resource​sharing ​between ​academics; ● Providing ​expertise ​pool ​on​competition ​in ​East ​Asia ​Region; ● Providing ​virtual ​platform​for ​resource ​sharing ​and communication.|

Organization
The network will consist of academics in competition policy and law from universities in East ​Asia, ​in ​which: ● The network shall be managed by academics, with appropriate supports from ​the ​competition​agencies. ● The network will establish a virtual secretariat. The organization of the secretariat will consist of academics and representatives of competition authorities. The Chairperson of the secretariat is selected biennially. The secretariat may consist of working groups on dedicated areas. The coordinator and secretariat office is selected annually. The elected authority will host an EANCP seminar as a back-to-back event with the EATOP meeting each year. The proposed structure is ​as ​Annex ​1. ● At the initial stage, it is hoped that ASEAN competition agencies or regulators will assist the network to build and expand. It needs a founder to establish the term of organization which consists of 2 or 3 academia from the recommended member ​by ​competition ​authorities.

Membership
● Experts/academia ​recommended ​by ​the ​competition ​authority ​in​East ​Asia. ● Academic or researcher in East Asia who has an interest in competition policy and law.

The list of current members of EANCP can be seen by clicking this following link: Members of EANCP

Activities
The network’s activities will include hosting an annual meeting back-to-back with the EATOP/EAC, publishing e-newsletter, create and managing a web portal, conduct research in competition, and regular discussion session by teleconference. In detail, the ​activity ​consists​of ​several ​objectives:

● Research to support competition law enforcement (e.g merger review, investigation, ​etc), ​prevention ​programs, ​policy ​analysis,​and ​advocacy; ● Development of curricula to support competition law and policy teaching in school ​and ​higher ​education; ● Training ​for​professional ​in ​‘competition ​industry’; ● Knowledge ​hub​development; ● Expertise ​and ​experts ​development; ● Managing​virtual ​platform ​of ​the ​network; ● Other ​relevant ​activities.

Funding
Upon the establishment, the network may generate its own funding in hosting events, and or get support from competition agencies or regulators, or potential international ​development ​partners ​who​share ​their ​common ​interest.

Note:
● Chairperson and Vice-Chairperson are appointed by the member of the network. ● Advisory Board consists of competition experts in providing strategic directions to​the ​network ​on ​their ​program ​and ​activities. ● Secretariat will be responsible to do the daily activities of the network and facilitate reports ​on ​activities ​under ​the ​network. ● WG on Economic Analysis will responsible to conduct economic-related analysis​and ​research. ● WG on Legal Analysis will responsible to conduct legal-related analysis and research. ● WG on Outreach will be responsible to conduct dissemination activities (training, workshops, ​seminars/conferences, ​web ​portal, ​and ​e-newsletter).

Seminar Kartel di UGM, 10 Mei 2017

0

Pada tanggal 10 Mei 2017, Dr. Siti Anisah, S.H., M.Hum. dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, berkesempatan memenuhi undangan dari Center ofr Intellectual Property, Competition, and Disputes Settlement Mechanism Studies (CICODS) Fakulas Hukum Universitas Gadjah Mada untuk hadir dalam seminar “Kartel: Kendala dan Solusi Penegakan Hukumnya” yang diadakan di Kampus UGM, Yogyakarta. Beliau hadir dalam kapasitas sebagai wakil dari Forum Dosen Persaingan Usaha (FDPU).

Dalam seminar itu, Dr. Paripurna, S.H., M.Hum., LL.M. menyampaikan bahwa kartel potensial terjadi di Indonesia, yang setidaknya dipicu oleh beberapa faktor: (1) ada persentase besar aset yang dikuasai oleh persentase kecil penguasa bisnis; (2) kendali pelaku usaha d parlemen dan eksekutif melalui partai politik masih cukup besar; (3) eksistensi sistem konglomerasi, termasuk integrasi vertikal dan penguasaan pangsa pasar; (4) pasar oligopolistik; (5) kesulitan pembuktian karena peraturan kurang memadai; (6) kewenangan KPPU yang masih terbatas. Untuk itu beliau merekomendasikan untuk: (1) memperkuat political will dalam pemberantasan kartel; (2) amandemen UU No. 5 Tahun 1999, dengan memperluas perbuatan yang dilarang, tidak dibatasi pada perjanjian; (3) memperkuat kewenangan KPPU.

Prof. Mark Furse dari Universitas Glasgow, Inggris yang tampil berikutnya menyatakan negara-negara OECD sendiri sudah memiliki definisi tegas tentang “hard core cartel” yaitu sebagai “…anticompetitive agreements by competitors to fix prices, restrict output, submit collusive tenders, or divide or share markets.” Sampai saat ini, menurutnya, tidak ada legitimasi untuk dapat membenarkan perilaku demikian. Ia juga mencatat, kasus-kasus kartel yang dibawa ke litigasi di Amerika Serikat dan Inggris, berawal dari laporan pelaku usaha, bukan konsumen. Dewasa ini ada beberapa model penanganan kartel yang dikenal di dunia, seperti: (1) civil/administrative exclusive models (digunakan di beberapat negara Uni Eropa dan China), (2) mixed administrative and criminal models (AS dan Inggris); dan (3) leniency (model lain-lain).

Sementara itu, Komisioner KPPU Munrokhim Misanan, Ph.D. mengatakan bahwa kartel bisa mencakup banyak perilaku seperti pengaturan produksi, penetapan harga horisontal, kolusi tender, pembagian wilayah, pembagian konsumen, dan pembagian pangsa pasar. Karakteristik kartel antara lain terjadi karena adanya konspirasi antar-pelaku usaha, pengunaan asosiasi, distribusi informasi kepada para anggota, pelibatan eksekutif senior, adanya mekanisme kompensasi bagi anggota kartel, dan pelaksanaan penetapan harga. Ketentuan terkait kartel di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, mengacu pada Pasal 5, 7, 9, 10. 11, 12, 22, dan 24. Untuk membuktikan telah terjadi kartel, KPPU selama ini menerapkan bukti petunjuk, berupa analisis ekonomi (struktural, perilaku) dan komunikasi. Beliau menunjuk beberapa negara yang bisa dijadikan best practise untuk penegakan hukum kartel, yaitu negara-negara Uni Eropoa, Amerika Serikat, dan Brasilia. (***)

Accepted Papers For International Seminar, Bali (Sept 6, 2017)

0


International Seminar, Bali, Sept 6, 2017

NOTIFICATION:
Here are the selected presenters in the break-out panel sessions at the International Seminar in Bali, Sept 6, 2017:

1. William Kovacic (George Washington University)
2. Munrokhim Misanam, Ph.D. (Commissioner of KPPU)
3. Sih Yuliana Wahyuningtyas (Atma Jaya Indonesian Chatolic University)
4. Mireza Fitriadi (legal consultant)
5. Hung-Hao Chang (National Taiwan University)
6. Daniel Agustino (Senior Investigator KPPU)
7. Sevenpri Candra (BINUS Business School)
8. Mrs. Dwi Marlina Wijayanti (Sunan Kalijaga Islamic State University)
9. Pierre Horna (Oxford University)
10. Kurnia Sya’ranie (Vice Chairman of KPPU)
11. Lim Sanny (BINUS Business School)
12. Ferdinand David Aritonang (Institute of Statistics, Jakarta)
13. Taufik Ahmad (KPPU)
14. Saidah Sakwan (Commissioner of KPPU)
15. Maman Setiawan, Ph.D. (Padjadjaran University)
16. Anna Maria Tri Anggraini (Trisakti University).