Oleh : Udin Silalahi
Praktek kartel adalah salah satu persekongkolan yang dilarang oleh hukum persaingan usaha, karena praktek kartel akibatnya langsung merugikan konsumen dan tujuan para peserta kartel untuk meningkatkan profit mereka.
Para peserta kartel tahu dan sadar bahwa praktek kartel melanggar undang-undang. Oleh karena itu umumnya praktek kartel dilakukan secara diam-diam (tacit collussion) dan sangat rahasia sehingga sulit dibuktikan, tetapi akibat praktek kartel tersebut langsung dirasakan oleh konsumen, yaitu harga naik secara signifikan.
Karena sulit membuktikan praktek kartel, yaitu untuk mendapat bukti langsung, berupa perjanjian harga yang dibuat para peserta kartel, maka dalam penegakan hukum persaingan usaha digunakan apa yang disebut dengan indirect evidence (bukti tidak langsung) untuk mengetahui adanya indikasi adanya praktek kartel. Banyak negara telah menerapkan indirect evidence tersebut, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan lain-lain. Indirect evidence adalah merupakan bukti komunikasi di antara peserta kartel tetapi apa isi pembicaraannya tidak diketahui isinya, dan bukti ekonomi terdiri dari bukti struktural dan bukti perilaku.
Banyak negara yang telah menggunakan indirect evidence tidak menerima hal itu sebagai satu- satunya alat bukti, tetapi merupakan bukti awal untuk menemukan adanya indikasi praktek kartel. Oleh karena itu, banyak negara —untuk melengkapi bukti tidak langsung tersebut—tetap memerlukan bukti langsung sebagai alat bukti bahwa telah terjadi praktek kartel oleh para pelaku usaha.
Untuk mendapatkan bukti langsung tersebut, maka negara-negara yang mempunyai hukum persaingan usaha, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang dan lain-lain, mengatur apa yang disebut dengan leniency program. Program ini ternyata sangat efektif mengungkap praktek kartel di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang.
Di sisi lain, KPPU selama ini juga mengalami kesulitan mendapatkan bukti langsung dalam kasus-kasus kartel. Oleh karena itu KPPU juga menggunakan indirect evidence sebagai alat bukti. Akan tetapi dalam hukum Indonesia alat bukti tidak langsung belum diterima sebagai alat bukti. Beberapa putusan KPPU mengenai kartel yang menggunakan bukti tidak langsung dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan alasan bukti tidak langsung tidak dikenal dalam hukum Indonesia.
Akan tetapi dalam putusan No. 08/KPPU-I/2014 tentang Kartel Ban, Mahkamah Agung menguatkannya dengan alasan bahwa bukti tidak langsung dapat diterima dalam hukum persaingan usaha. Dari putusan tersebut, ada inkonsistensi Mahkama Agung dalam penerimaan bukti tidak langsung tersebut.
Seperti yang diterapkan di negara Amerika Serikat dan Uni Eropa, program ini dimasukkan dalam Rancangan UU amandemen UU No. 5/1999 untuk menghindari inkonsistensi penerapan indirect evidence sebagai alat bukti, dan bertujuan untuk mendapatkan bukti langsung dalam praktek kartel.
Dalam Pasal 74 Draf Amandemen UU No. 5/1999 yang berbunyi: (1) KPPU dapat memberikan pengampunan dan/atau pengurangan hukuman bagi pelaku usaha yang mengakui dan/atau melaporkan perbuatannya yang diduga melanggar Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 21; (2) Pengampunan dan/atau pengurangan hukuman sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) diatur dalam peraturan KPPU. Ketentuan ini harus disambut dengan positif. Akan tetapi pengaturan lebih diteil harus diatur sesuai dengan kondisi dan budaya orang Indonesia.
Leniency program
Menurut sejarah, lahirnya leniency program diawali dari usaha Antitrust Division, Amerika Serikat mencari bukti-bukti pelanggaran praktek kartel yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Di AS praktek kartel merupakan tindak pidana.
Dulu, Antitrust Division mempunyai ketentuan dalam proses pidana untuk memaksa saksi menyampaikan kesaksiannya. Saksi yang menolak memberikan kesaksian dapat dinyatakan dihukum sebagai contempt of court.
Alat yang digunakan untuk mendapatkan informasi dari para anggota kartel, pada waktu itu, dimana leniency program belum ditemukan, adalah proses plea bargaining. Kemudian Antitrust Division mempunyai wewenang privillege menentukan besarnya sanksi. Dengan demikian Antitrust Division mempunyai kesempatan dengan instrumen ini menetapkan mengajak kerjasama dengan para peserta kartel. Demikian leniency program dalam hukum persaingan usaha Amerika Serikat pertama kali diundangkan pada tahun 1978. Idenya pertama kali disampaikan oleh John Shenefield asisten Attorney General der Antitrust Division, dalam makalahnya di Universitas Nortwestern di Chicago, memberikan pendapat pada suatu kasus kartel.
Dia mengumumkan bahwa Antitrust Division mengupayakan mendapatkan informasi secara sukarela dari peserta kartel. Antitrust Division bersedia, menjamin pengampunan kerjasama secara sukarela dari peserta kartel, yaitu “the Antitrust Division would give serious consideration to lenient treatment of corporations or officers voluntary reporting their antitrust wrongdoing prior to its detection by the government”.
Leniency Policy 1978 telah diperbaharui pada tahun 1993 dan tahun 1994. Tujuan Leniency Policy adalah untuk menemukan dan menyelidiki kartel, tetapi khususnya untuk membuat pelaku usaha takut melakukan kegiatan kartel.
Pelaku usaha, yang terlibat praktek kartel secara sukarela melaporkan kepada Antitrust Division, akan mendapatkan pengurangan penanganan (sanksi). Jadi, tujuan leniency program adalah untuk memikat pelaku usaha yang terlibat praktek kartel, mengaku dan mendaptar ke Antitrust Division. Langkah ini dirasa lebih mempermudah untuk mengungkap perjanjian kartel yang dibuat secara rahasia. Dalam proses pembuktian akan mempermudah Antitrust Division, di mana para pelaku usaha yang bersangkutan bekerjasama selama proses penyelidikan sebagaimana diatur oleh ketentuan yang berlaku.
Di Uni Eropa Leniency Program pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 oleh Komisi Uni Eropa, tahun 2002 diperbaharui dengan fokus pada tranparansi dalam penetapan besaran uang denda tergantung pada seberapa besar keterlibatan pelaku usaha dalam pembuktian praktek kartel tersebut.
Pada tahun 2006 leniency program direvisi kedua kalinya, dimana diaitur penetapan dan penilaian uang denda lebih diteil di mana informasi-informasi yang harus disampaikan oleh pelaku usaha, supaya pelaku usaha tersebut dibebaskan dari denda teretentu. Pengaturan dibebaskan dari denda diatur lebih jelas.
Adanya Leniency Program, baik di Amerika Serikat maupun di Uni Eropa, ternyata berhasil menarik minat peserta kartel untuk melaporkan keterlibatannya dengan adanya reward pengampunan yang diberikan oleh masing-masing lembaga persaingan usaha. Salah saatu contoh kasus kartel Airfreight November 2010, Komisi Eropa menjatuhkan sanksi 779 juta Euro kepada 12 operartor kargo udara karena terbukti menetapkan harga bersama. Komisi Eropa menyatakan bahwa jutaan bisnis bergantung pada layanan kargo udara, yang membawa lebih dari 20% impor Uni Eropa dan hampir 30% dari ekspor Uni Eropa.
Keputusan tersebut memastikan bahwa perusahaan yang menjadi bagian dari kartel kargo udara diberi sanksi atas perilaku mereka. Hampir 800 juta euro denda yang dijatuhkan untuk 12 pengangkut kargo udara yang berpartisipasi dalam kartel penetapan harga terhitung sejak Desember 1999 sampai Februari 2006, di pasar layanan pengiriman udara yang mencakup penerbangan dari, ke dan di dalam Area Ekonomi Eropa (EEA). Pengaturan leniency program Uni Eropa menawarkan perusahaan yang terlibat dalam kartel untuk memberikan laporan serta menyerahkan bukti-bukti terkait sehingga dapat diberikan imunitas dari denda atau pengurangan denda. Syarat pengampunan denda bebas sama sekali dari Komisi Uni Eropa, pelaku usaha harus menjadi yang pertama memberitahukan kepada Komisi Uni Eropa mengenai praktek kartel yang tidak terdeteksi dan memberikan informasi yang cukup untuk memungkinkan Komisi untuk memulai pemeriksaan di tempat dari perusahan yang diduga terlibat dalam kartel.
Pelaku usaha yang tidak memenuhi imunitas penuh dapat mengambil manfaat dari pengurangan denda jika mereka memberikan bukti yang mewakili nilai tambah yang signifikan atas bukti yang sudah dimiliki Komisi dan dengan catatan partisipasi pelaku usaha tersebut sudah berhenti melakukan praktek kartel tersebut. Pelaku usaha yang memenuhi persyaratan ini diberikan 30% sampai 50%, kedua 20 sampai 30%, dan perusahaan selanjutnya hingga 20%. Jadi, besaran denda yang diberikan kepada 12 operator pengangkut kargo berbeda-beda sesuai dengan kesediaan mereka memberikan bukti-bukti yang dibutuhkan, sebagaimana terdapat pada tabel dibawah ini.
Jadi, berdasarkan best practices di negara-negara yang mengimplementasikan leniency program, terbukti efektif untuk mendapatkan bukti langsung dan mengurangi praktek kartel. Hal ini perlu segera direalisasikan oleh pembuat undang-undang dalam mengamendemen UU No. 5/1999 yang akan dibahas oleh Pemerintah dan DPR. (***)
______
Penulis adalah dosen tetap Fakultas Hukum UPH Karawaci dan pengajar Hukum Persaingan Usaha. Tulisan ini pernah dimuat di Investor Daily, 20 Juni 2017.